Jakarta (ANTARA News) - Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Ginandjar Kartasasmita mengritik perjalanan demokrasi di Indonesia yang dinilainya lebih menonjolkan kepentingan pribadi dan golongan ketimbang kepentingan rakyat sebagai pemilik kedaulatan. "Sehingga transisi menuju pemerintahan yang demokratis masih belum dapat menghasilkan pemerintahan yang profesional, efektif, efisien, dan kredibel," katanya dalam orasi ilmiah pada wisuda sarjana dan diploma ke-20 Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Ahmad Dahlan di Jakarta, Sabtu. Ginandjar mengritik demokrasi itu terkait keberadaan DPD yang tidak diberi kewenangan dan fungsi yang tegas sehingga membuat sistem menjadi rancu dan tidak memperbaiki kualitas demokrasi. "Sistem yang dibangun oleh reformasi dengan biaya yang cukup mahal ini tidak difungsikan dengan baik," katanya. Pengambilan keputusan di dalam partai-partai politik belum mencerminkan proses demokrasi sehingga yang sekarang terjadi kekuasaan otokrasi digantikan oleh kekuasaan oligarki, katanya. "Demokrasi kita tidak berjalan secara demokratis dalam arti tidak semua anggota masyarakat menikmati hak politik yang sama," katanya. Ia menyebutkan untuk menjadi anggota DPR, gubernur, bupati, walikota, bahkan presiden seorang calon harus berasal dari partai politik. Sekarang calon kepala daerah boleh dari perorangan tetapi diembel-embeli dengan syarat yang sangat sulit untuk bisa terpenuhi, katanya. Politik uang, kata Ginandjar, telah menyingkirkan pertimbangan obyektif dan rasional yang semestinya menjadi pertimbangan utama dalam berdemokrasi. Mengenai pemekaran daerah yang dimaksudkan sebagai usaha memperkuat otonomi dan mendekatkan pelayanan publik, dinilai tidak menghasilkan kesejahteraan tetapi justru merugikan. Hal itu terjadi karena dana yang seharusnya digunakan untuk kepentingan pembangunan menjadi tersedot untuk membiayai aparat birokrasi termasuk DPRD. "Juga telah terjadi desentralisasi korupsi," katanya. Sementara amandemen konstitusi telah melahirkan konflik antarlembaga negara yang terjadi karena peran, fungsi serta batas-batas kewenangan yang tidak jelas. Untuk itu, kata Ginandjar, diperlukan kembali penyempurnaan UUD 1945 agar mampu mengakomodasi kebutuhan bangsa dan tantangan zaman dalam membangun ketatanegaraan yang demokratis.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008