Jakarta (ANTARA News) - Peraih hadiah Novel bidang Kedokteran asal Amerika, George Wald, pernah berkata suatu kuliah lebih merupakan dialog meski tidak banyak yang menyadarinya (A lecture is much more of a dialogue than many of you probably realize).

Dialog juga yang terjadi saat Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Luhut Binsar Panjaitan menyampaikan kuliah umum di Australia National University (ANU), Canberra, Australia dan Konsulat Jenderal (Konjen) Indonesia di Sydney.

"Kalau benar pemerintah ingin membangun Papua, kenapa sampai sekarang Papua tidak dibuka untuk wartawan asing dan mengapa yang saya lihat saat ini sepertinya militer di Indonesia ingin kembali ke zaman Orde Baru termasuk dengan adanya tiga orang jenderal senior di kabinet?" tanya mantan koordinator Indonesia Corruption Watch Danang Widoyoko dalam sesi tanya jawab kuliah umum Menkopolhukam di ANU, Canberra, Jumat (10/6).

"Kami sudah membuka Papua untuk wartawan asing sejak bulan lalu dan mengenai pertanyaan militer kembali ke zaman Orba, saya tidak melihat rencana untuk menaruh militer kembali ke zaman Orba, militer hanya ditugaskan untuk membantu mengatasi sejumlah persoalan seperti teroris, tsunami dan bencana alam lain, tidak akan kembali ke zaman Orba," jawab Luhut dalam bahasa Inggris.

Kuliah umum tersebut diikuti oleh sekitar 150 orang peserta baik warga Indonesia maupun Australia. Rombongan Luhut pun datang dalam jumlah besar yaitu sekitar 30 orang antara lain terdiri dari Kapolri Jenderal Pol Badrodin Haiti, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Komjen Pol Tito Karnavian, Direktur Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM Ronny F Sompie, Duta Besar Indonesia untuk Australia Nadjib Riphat Kesoema, Kepala Staf Umum (Kasum) TNI Laksamana Madya Didit Herdiawan, Wakil Tetap Indonesia untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa Desra Percaya, Kapolda Papua Irjen Pol Paulus Waterpauw, mantan Sekretaris Kabinet Andi Widjojanto dan sejumlah pejabat lainnya.

Tidak ketinggalan Luhut juga membawa sejumlah tokoh dari Papua seperti Sekretaris Eksekutif Forum Kerja Sama (Foker) LSM Tanah Papua Linche F Maloali, Direktur Eksekutif Lembaga Pembela HAM Papua Mathius Murib dan dosen Universitas Cendana Marinus Magustinus Yaung.

Kuliah umum yang hanya dilaksanakan selama sekitar satu jam itu juga masih diwarnai dengan demonstrasi enam orang yang bernyanyi dan membawa bendara Papua Merdeka di depan gedung kuliah, namun tidak sampai mengganggu jalannya perkuliahan.

Luhut juga menyampaikan kuliah umum sekaligus menghadiri acara buka puasa bersama di Konsulat Jenderal (Konjen) Indonesia di Sydney, ruang pertemuan yang hanya mampu memuat sekitar 50 orang dijejali hingga sekitar 100 orang masyarakat Indonesia sehingga beberapa orang harus mendengarkan paparan dari tangga.

Mengapa istimewa?
Meski mengurus dan membawahi menteri-menteri bidang politik, hukum dan keamanan, Luhut membuka kuliahnya dengan argumentasi mengenai pentingnya untuk menghadirkan kualitas pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Caranya adalah dengan mengurangi kesenjangan pendapatan, menciptakan lapangan pekerjaan dan menyediakan harga makanan yang terjangkau.

"Isu politik-keamanan dan ekonomi adalah dua sisi mata uang yang harus dijaga stabilitasnya," kata Luhut di Canberra sambil memaparkan bahwa ketidakseimbangan pendapatan yang dihitung dengan koefisien gini pada 2009-2013 meningkat meski pertumbuhan ekonomi mencapai lebih dari 6 persen.

Untuk merespon hal ini, menurut Luhut, pemerintah meluncurkan dana desa yang memiliki empat tujuan yaitu memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, pembangunan infrastrukutr desa, pembangunan potensi ekonomi lokal dan pendayagunaan sumber daya alam serta lingkungan.

"Kita perlu program yang berdampak langsung ke orang miskin, pemerintah bukan ingin Indonesia menjadi komunis atau sosialis tapi kesetaraan sangat penting bagi orang Indonesia," tambah Luhut.

Dana untuk 74.754 desa di Indonesia menurut Luhut semakin bertambah dari tahun ke tahun yaitu 4.111 juta dolar AS (2015); 6.689 juta dolar AS (2016); 9.708 juta dolar AS (2017); 13.500 juta dolar AS (2018) serta 12.522 dolar AS (2019). Selanjutnya pemerintah juga sedang membangun 13 bendungan dengan nilai hingga Rp9,82 triliun untuk menghasilkan 25,57 megaWatt listrik dan irigasi untuk 63.023 hektar lahan.

Demi mengerjakan pembangunan dengan cepat, pemerintah menggunakan Bintara Pembina Desa (Babinsa) TNI Angkatan Darat sebagai satuan teritorial paling bawah dan langsung berhadapan dengan masyarakat, termasuk dalam mengawasi penggunaan Dana Desa.

"Tentara mendapat tingkat kepercayaan masyarakat hingga 64,9 persen berdasarkan survei dari Indobarometer, hanya sedikit di bawah KPK yang mendapat kepercayaan 65,8 persen. Pendampingan oleh TNI itu ternyata sukses terjadi di Jawa Timur dan Jawa Tengah, masyarakat merasakan dampaknya karena rakyat suka dan biasayna murah, tentara itu disiplin dan masalah kita selama ini adalah inefisiensi akibat tidak disiplin," jelas Luhut di Sydney.

Penerjunan tentara terlatih untuk membantu program pembangunan yang mencapai Rp211 triliun. Dana besar tersebut berasal dari realokasi subsidi bahan bakar yang akan disebarkan untuk belanja kementerian/lembaga (Rp148 triliun), dana alokasi khusus (Rp21 triliun), dana desa (Rp12 triliun), subsidi pupuk (Rp4 triliun) dan lainnya (Rp26 triliun). Contoh program pembangunan infrasktruktur adalah tol trans Sumatera, tol trans Jawa, jalan perbatasan Kalimantan, perbaikan sejumlah bandara hingga pelabuhan.

Terkait Papua, Luhut menjelaskan bahwa pemerintah saat ini berupaya untuk mengerjakan UU No 25 tahun 2008 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua agar ada peningkatan kualitas manusia dan memberdayakan potensi lokal. Sayangnya, meski sejak 2011-2015 tidak kurang Rp5,15 triliun dikucurkan pemerintah pusat ke provinsi Papua Barat, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) warga di Papua dan Papua barat belumlah meningkat.

"Perlu ada program yang komprehensif untuk masalah Papua, kami akan mendirikan sekolah berasrama di sana dan memberikan beasiswa presiden. Terkait HAM, kami berusaha untuk mengklasifikasikan kasus apakah memang benar terjadi pelanggaran HAM di sana, persoalannya adalah terlalu banyak rumor yang berkembang, padahal kami hanya ingin bicara berdasarkan data," tambah Luhut yang merupakan komandan pertama Detasemen 81 Gultor dari kesatuan baret merah Kopassus itu.

Soal Teroris
"Saya memang mengerti tentang ekonomi, dan saya juga pernah menjadi Menteri Perindustrian dan Perdagangan, dan kebetulan perusahaan saya masih ada deviden, karena itu kita tidak bisa hanya melihat (keamanan) dari satu sisi saja," kata Luhut menjelaskan mengapa ia menyampaikan soal ekonomi meski membawahi urusan politik dan keamanan.

Namun Luhut menekankan bahwa tidak ada negara yang imun terhadap teroris sehingga negara melakukan dua pendekatan yaitu keras (hard) dan lunak (soft). Pendekatan keras menggunakan operasi militer dan intelijen serta penegakan hukum sedangkan pendekatan lunak melalui rehabilitas, deradikalisasi hingga kamapnye media.

"Kami sarankan ke presiden tidak tergabung dalam military alliance dengan Arab Saudi, dan kebetulan presiden sangat setuju. Saya pikir kita harus bertuan pada negara kita sendiri, tapi bukan berarti tidak mau hard approach, karena kita juga sedang mengerjakan revisi UU Terorisme supaya bisa melakukan preemptive action," ungkap Luhut di Sydney.

"Bom Thamrin pada Januari lalu itu juga diperintahkan oleh lulusan Nusa Kambangan, jadi setelah dipenjara di Nusa Kambangan malah dia berhasil merekrut orang untuk membuat teror lain," tambah Luhut.

Luhut pun mempersilakan Ketua BNPT Tito Karnavian untuk menjelaskan bagaimana upaya pemerintah saat ini dalam mengatasi tindakan teror.

"Teroris sama dengan insurgensi yaitu bagaimana untuk mendapatkan dukungan publik terhadap misi ideologi tertentu dengan menargetkan masyarakat sipil. Pasti ada yang mendukung tapi mayoritas publik sebenarnya tidak mendukung," kata Tito saat berbicara di Sydney.

Agar kelompok teroris tidak sampai memenangkan dukungan publik menurut Tito harus ada perpaduan metode antara pendekatan lunak dan keras.

"Penegak hukum tetap di garis depan tapi didukung dengan intelijen dan militer di belakang. Kami menggunakan law enforcement led strategy sehingga HAM tetap dilindungi karena semuanya berdasarkan proses hukum yang dibawa ke pengadilan. Pertarungan kami bukan hanya menangkap di lapangan saja tapi juga di pengadilan sehingga publik puas dan HAM ditegakkan," tambah Tito.

Tito pun menegaskan bahwa teroris adalah soal ideologi dan bagaimana menangkal ideologi tersebut oleh seluruh pihak.

"(Mengatasi terorisme) harus jadi kerja sama internasional, apalagi selagi Timur Tengah terus bergejolak tapi penyelesaian tetap harus diselesaikan di tingkat lokal dan regional dengan didukung oleh intelijen," ungkap Tito yang mendapatkan gelar Ph.D di bidang Terorisme dan Radikalisasi Islam di Rajaratnam School of International.

Akhirnya strategi untuk mengamankan suatu bangsa dari ancaman terorisme memang tidak bisa hanya menangkapi para terduga teroris, tapi juga termasuk pembangunan ekonomi dan manusia secara kommprehensif. Jalan yang panjang dan tidak hanya bisa dilakukan oleh satu kementerian, bahkan kementerian koordinasi sekalipun. 

Oleh Desca Lidya Natalia
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016