... tentu saja akan menguntungkan kedua negara...
Jakarta (ANTARA News) - Duta Besar Rusia untuk Indonesia, Mikhail Galuzin, berkomentar tentang rencana pembelian pesawat tempur Sukhoi Su-35 Indonesia. Kremlin mengklaim tidak pernah mengaitkan atau menerapkan persyaratan non teknis sebagaimana negara lain. 

"Kerja sama ini menunjukkan bahwa Rusia siap menjadi sekutu militer yang bisa diandalkan Indonesia. Kami tidak menerapkan syarat-syarat politik tertentu untuk penjualan pesawat tempur ini, tidak seperti negara lain yang tentu Anda sudah tahu siapa," kata Galuzin, kepada sejumlah wartawan, di Jakarta, Rabu.

Sebelumnya pada Selasa, Menteri Pertahanan, Ryamizard Ryacudu, mengumumkan Indonesia berencana membeli 11 pesawat tempur Sukhoi Su-35 buatan Rusia senilai 1,14 milyar dolar Amerika Serikat atau sekitar Rp15,3 trilyun. Dia didampingi Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita.

Hampir setengah dari harga itu akan dibayar dalam bentuk komoditas perkebunan, di antaranya karet, kelapa sawit, dan kopi.

UU Nomor 16/2012 tentang Industri Pertahanan mensyaratkan berbagai hal pada tiap akuisisi sistem kesenjataan dari luar negeri, di antaranya kewajiban off set, imbal dagang, transfer teknologi, partisipasi industri pertahanan dalam negeri, hingga bebas dari intervensi politik negara pembuat.

Pada 1999, Amerika Serikat mengembargo Indonesia soal persenjataan pasca Peristiwa Santa Cruz (1991) dengan ujungnya pada pemisahan Provinsi Timor Timur. Embargo itu baru dicabut pada 2006 lalu.

Selain itu, Amerika Serikat juga pernah menerapkan langkah serupa kepada China, Argentina, Iran, dan Rusia sendiri.

Pada sisi lain, Rusia juga diberi sanksi Uni Eropa menyusul tuduhan aneksasi mereka di Semenanjung Krimea pada 2013. Sanksi ini cukup memukul Rusia yang kemudian gencar mencari pasar bagi produk-produk mereka.

"Kesepakatan pembelian senjata ini menunjukkan kepada publik Indonesia bahwa Rusia adalah sekutu yang bekerja sama dengan prinsip saling menghormati tanpa melibatkan persoalan politik," kata Galuzin.

"Kesepakatan ini tentu saja akan menguntungkan kedua negara," kata dia.

Namun demikian, Galuzin mengabaikan fakta bahwa negaranya sendiri juga menerapkan embargo terhadap Pakistan dengan motivasi politik; persis Amerika Serikat. Embargo itu sudah dicabut pada 2014 lalu.

Menurut majalah The Diplomat, sikap keras Moskow terhadap Islamabad sudah dimulai sejak masa Perang Dingin. Saat itu, politik luar negeri Pakistan lebih condong ke koalisi NATO, sementara Uni Soviet memilih India sebagai aksis politik regional di Asia Selatan.

Sukhoi Su-35 (NATO: Flanker E atau Super Flanker) menjadi salah satu andalan ekspor Rusia, dengan dua negara yang hampir pasti menerima pesawat tempur pengembangan Sukhoi Su-27/30 Flanker, yaitu Indonesia dan China. 

Di ASEAN, ada tiga negara yang mengoperasikan Sukhoi Su-27/30 Flanker, yaitu Indonesia, Vietnam, dan Malaysia. 

Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2017