Jakarta (ANTARA News) - "Pemimpin yang baik adalah yang menyadari bahwa kekuasaan yang dipegangnya adalah milik publik. Oleh karena itu, kekuasaan tersebut harus menjadi alat efektif untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat...." Begitu pesan moral dari Cak Kardi - panggilan akrab Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate Dr Sukardi Rinakit - dalam sampul buku baru karyanya berjudul "Tuhan Tidak Tidur (Gusti Ora Sare)" yang diluncurkan baru-baru ini di Jakarta. "Tuhan Tidak Tidur (Gusti Ora Sare)" yang diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas berisi 53 esai politik terpilih karya Cak Kardi yang telah dipublikasikan harian Kompas dalam kurun 2003-2007. Esai-esai itu terangkum dalam tiga bab. Bab I bertajuk "Politik Wayangan" menyajikan 23 esai, bab II berjudul "Jangan Meliput Demokrasi" menampilkan 22 esai, dan bab III berkepala karangan "Kilas Balik Pemilu 2004" memuat delapan esai. Pesan moral yang disampaikan Cak Kardi itu berangkat dari kegelisahan dia bahwa para pemimpin di Republik ini pada umumnya tidak sepenuh hati menjadi pemimpin. "Mereka hanya menjadi pejabat," kata peneliti dan pengamat politik kelahiran Madiun, Jawa Timur 5 Juni 1963 itu. Doktor Ilmu Politik lulusan Universitas Nasional Singapura itu berharap bahwa pemimpin dapat menjalankan peran dan tanggungjawabnya untuk kesejahteraan rakyat. Ia mengingatkan bahwa apa yang telah dilakukan para pemimpin kelak harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan dan Tuhan senantiasa mengetahui setiap tarikan nafas, sikap dan perilaku pemimpin. Karena itu ia memilih judul "Tuhan Tidak Tidur (Gusti Ora Sare) untuk buku setebal 248 halaman itu. Adagium "Gusti Ora Sare" dilontarkan mantan Presiden RI Soeharto ketika menerima Cak Kardi pada 19 Juni 1999 atau sekita 13 bulan pasca penguasa rezim Orde Baru itu "lengser ke prabon". Cak Kardi, sebagaimana dapat dibaca pada halaman 113 buku ini, menulis tiba-tiba Pak Harto bertanya "Kalau kamu disuruh memberi nilai selama saya menjadi Presiden, berapa nilai yang kamu berikan?". Cak Kardi pun spontan menjawab bahwa nilainya adalah enam. Mendengar jawaban itu, Soeharto ketika itu hanya tersenyum dan berkata dengan sabar bahwa nilai yang Cak Kardi berikan hanya temaram. Tidak gelap, tidak terang. "Tapi tidak apa-apa, toh Gusti ora sare. Tuhan tidak tidur," kata Soeharto yang berpulang ke rahmatullah pada Minggu 27 Januari 2008. Pepatah dari Soeharto itu tampaknya membekas dalam benak Cak Kardi. Sampul buku ini pun dibuat temaram, didominasi warna hitam meski ada separasi warna putih. Esai politik biasanya ditulis untuk mengomentari satu peristiwa politik di satu masa di satu masyarakat. Isinya bisa berupa analisis teoretik, pandangan pribadi si penulis berdasarkan pengalaman atau gabungan dari keduanya. Esai-esai politik Cak Kardi dalam buku ini menembus persoalan politik yang jauh lebih dalam. Bagi Cak Kardi, politik merupakan semesta yang lebih luas bukan sekadar alat untuk meraih kekuasaan sesaat dan bahwa ada moralitas serta nilai kearifan pemimpin di dalamnya. Dalam esai bertajuk "SBY dan Politik Gusti Ora Sare" misalnya, Cak Kardi menilai pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla juga temaram. Akibatnya perasaan gundah membuncah di hati rakyat. Menurut Cak Kardi, perasaan gundah itu tampaknya bersumber pada karakter kepemimpinan Yudhoyono yang bersandar pada prinsip "Gusti Ora Sare". Tanpa determinasi yang kuat, gaya kepemimpinan yang bersandar pada prinsip "Tuhan Tidak Tidur" lebih banyak mengakibatkan "kekacauan" daripada keteraturan. Hal itu disebabkan hati pemimpin tersebut dipenuhi dengan perasaan sabar dan sikap mengalah. Menyerahkan segala sesuatunya kepada kebijakan alam. Sementara Jusuf Kalla, seperti ditulis Cak Kardi pada halaman 115, bukannya mati-matian konsentrasi mengurusi kebijakan publik tetapi malah menambah beban pribadi dengan mengusung Partai Golkar. Setelah itu menyusul kejadian-kejadian kontroversial yang mengherankan masyarakat. Fenomena di atas bisa saja dilegitimasi karena perbedaan karakter kepemimpinan antara Yudhoyono yang hati-hati dan Kalla yang ingin serba cepat dalam pengambilan keputusan. Yudhoyono mesti membalik cara pikir tentang kearifan prinsip "Tuhan Tidak Tidur" menjadi tindakan politik yang tegas. "Artinya segala gerak wakil presiden, para menteri, dan para birokrat pendukungnya harus terkontrol. Selain itu segala keputusan politik juga harus diambil dengan mengabaikan tekanan-tekanan kelompok tertentu," tulis Cak Kardi pada halaman 116. Pendeknya, kata Cak Kardi, kearifan prinsip "Gusti Ora Sare" harus diterjemahkan dalam tindakan politik yang bisa disejajarkan dengan ilustrasi "Kalau saya seorang jenderal, bergelar doktor, umur 50 tahun lebih, anak-anak sudah mandiri, dan sekarang menjadi presiden, tidak ada lagi yang saya takuti kecuali rakyat dan Tuhan". Sebagian besar dari esai ini memang menyentil kepemimpinan duet Yudhoyono dan Kalla. Pemimpin Baru Dalam esai berjudul "Jalan Baru Pemimpin Baru" pada halaman 84-87, Cak Kardi bercerita tentang pengalamannya berdiskusi dengan seorang sopir taksi dalam perjalanan pada 6 Oktober 2007. Sama seperti pendapat para aktivis, sopir taksi itu pun memimpinan pemimpin baru. Seorang calon alternatif!. Sopir taksi itu pun mengutip guyonan politik yang banyak beredar di layanan pesan singkat (SMS) seperti "Kalau buka puasa hindari menu es beye, sup kalla, soto yoso...". "Nyong suka Sopan Sopyan (maksudnya Sophan Sophiaan). Saya tersenyum mendengarnya. Ini bukti ada jarak persepsi antara pengamat dan rakyat," kata Cak Kardi menceritakan pernyataan sopir taksi itu. Ilustrasi itu memberi gambaran bahwa wacana pemimpin baru tampaknya sudah menelusup ke relung-relung hati rakyat. Dia menggedor-gedor kebuntuan perekrutan dan kaderisasi partai politik. Itu artinya pada tingkat tertentu bangsa ini telah melompati sungai kesadaran politik sehingga pencarian pemimpin alternatif menjadi suatu keharusan sejarah ketika kondisi kehidupan tidak juga membaik. Bagi para aktivis pada umumnya, pemimpin baru itu berarti harus kaum muda sedangkan jargon yang mereka kibarkan adalah "saatnya kaum muda memimpin". Namun jargon itu dalam tataran praksis ternyata harus disesuaikan menjadi tiga alternatif. Pertama, pasangan presiden dan wakil presiden adalah para senior tetapi kabinet diisi oleh kaum muda, kedua presiden tokoh senior tetapi wakil presiden tokoh muda dan kabinet dipenuhi kaum muda, ketiga, presiden, wakil presiden, menteri adalah kaum muda. "Alternatif pertama dan kedua tentu saja untuk sementara ini lebih rasional karena kandungan konfliknya lebih kecil. Jika dipaksakan hanya kaum muda yang memimpin, oligarki partai dan kekecewaan para senior diperkirakan bisa menjadi penghambat efektivitas pemerintahan nantinya," tulis Cak Kardi pada halaman 86. Pada esai itu Cak Kardi bahkan bertanya kepada sejumlah tokoh muda seperti Anis Baswedan, Budiman Sujatmiko, Chalid Muhammad, Denny Indrayana, Effendi Gazali, Fadjroel Rahman, Faisal Basri, Hilmar Farid, Rizal Ramli, Saldi Isra, Yudi Latif, dan yang lain apakah perlu membangun Kaukus Indonesia Raya dari Merauke sampai Sabang agar bangsa ini bangkit. Entah kebetulan atau tidak, apa yang ditulis Cak Kardi yang menginginkan tampilnya tokoh pemimpin muda, paling tidak sudah terealisasi dengan Rano Karno yang menjadi Wakil Bupati Tangerang, sedangkan pasangan kaum muda Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf telah dinyatakan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Terpilih 2008-2013, tak berbeda jauh dengan kemenangan Wakil Gubernur Sumatera Utara 2008-2013 Gatot Pujonugroho. Buku ini menarik untuk dibaca oleh siapa pun, terutama bagi kalangan politisi dan aktivis, yang ingin kekuasaannya bertahan atau yang hendak terjun ke dunia politik karena bisa mendapatkan kearifan dalam hidup. (*)

Oleh Oleh Budi Setiawanto
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008