New York (ANTARA News) - Mantan Presiden Abdurrahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur kembali menyatakan kesiapannya bertarung sebagai calon presiden pada Pilpres 2009, di New York, Minggu sore. Salah satu misi utamanya nanti jika terpilih sebagai presiden adalah menembak tanpa ampun kapal-kapal asing yang melintasi wilayah kedaulatan RI tanpa izin. "Saya disuruh sesepuh untuk maju (untuk Pilpers 2009, red), ya saya jalankan," kata Gus Dur ketika menjawab pertanyaan ANTARA dalam acara temu muka mantan presiden itu dengan masyarakat Indonesia di Masjid Al-Hikmah, New York. Pernyataan Gus Dur disambut tepuk tangan para warga Indonesia yang menghadiri acara temu-muka dengan mantan presiden itu. Di antara warga Indonesia yang hadir ada yang secara langsung menyatakan dukungannya kepada Gus Dur untuk kembali menjadi presiden Beberapa warga memanfaatkan acara silahturahmi di Masjid Al-Hikmah untuk menanyakan kebijakan-kebijakan apa yang akan diambil Gus Dur, jika terpilih sebagai presiden dalam upaya mengatasi berbagai masalah di tanah air, dari pendidikan hingga keberadaan perusahaan asing. Perusahaan asing Tentang perusahaan asing di Indonesia, Presiden periode 1999-2001 itu mengatakan ia akan membedakan bidang-bidang mana saja yang perlu didukung oleh investasi dalam negeri atau luar negeri. "Contohnya bidang transportasi, harus didukung oleh investasi dalam negeri, otomatis itu tugas pemerintah. Tapi untuk menunjang peningkatan alat transportasi dalam negeri, tidak masalah ada investasi juga dari luar negeri," ujarnya. Sementara itu saat memberikan ceramah kepada para warga Indonesia, Gus Dur mengungkapkan kegeramannya kepada negara-negara tetangga yang mencoba-coba untuk `membodohi` dan menyepelekan Indonesia, termasuk melalui kasus-kasus pelanggaran wilayah Indonesia di sekitar Selat Malaka. Gus Dur mengatakan, beberapa waktu lalu ia bertemu dengan Menteri Luar Negeri Singapura, George Yeo. Dalam pertemuan dengan Menteri Singapura itu, yang disebut Gus Dur sebagai 'teman saya' itu, ia menyampaikan peringatan bahwa jika ia kembali menduduki jabatan sebagai presiden periode mendatang, maka dirinya akan membuat Indonesia lebih tegas dalam menyikapi pelanggaran wilayah NKRI. "Saya akan tempatkan empat kapal laut cepat di berbagai sisi wilayah dengan masing-masing digawangi oleh satu peleton Marinir. Kalau ada kapal lewat, stop. Lihat surat-suratnya, ada atau tidak. Kalau tidak ada, tembak," kata Gus Dur. "Nggak tahu disampaikan atau tidak oleh George Yeo (kepada pemerintah Singapura, red). Pokoknya saya sudah ngomong," cetusnya lagi. Penghargaan Yahudi Keberadaan Gus Dur selama beberapa hari di AS, termasuk Washington D.C. dan New York, selain menjadi pembicara dalam dialog antaragama di AS, juga untuk menerima penghargaan atas perannya memajukan dialog antaragama dan peradaban. Penghargaan diterimanya dari Simon Wieshenthal Center, lembaga nonpemerintah pembela Yahudi dan pendukung penegakan hak azasi manusia serta toleransi antarumat beragama. Lembaga yang berbasis di New York itu menganugerahi Gus Dur dengan `Medals of Valor` karena sang pendiri The Wahid Institute itu dianggap gigih memperjuangkan pluralisme dan multikulturisme. Penghargaan juga diterima Gus Dur dari Temple University, Philadelphia, yang melihat Gus Dur sebagai salah satu tokoh di dunia Islam yang menjadi pejuang dialog antaragama. Gus Dur mengatakan bahwa lawatannya ke AS kali ini digunakan untuk menjelaskan kepada para pengambil keputusan, termasuk Kongres AS dan Wakil Presiden AS, Dick Cheney, tentang kepentingan nasional Indonesia dan wajah Indonesia yang banyak didasarkan kepada syariat-syariat Islam, namun bukan negara Islam. "Dalam dunia Islam sekarang ini ada dua pemikiran: Islam yang marah-marah, tidak mau berdialog, atau Islam yang justru menjunjung dialog, berunding, bernegosiasi. Tiga tahun mendatang sangat menentukan, apakah (Indonesia, red) akan menunjukkan Islam yang marah atau yang suka berdialog," papar Gus Dur. Menurut dia, di tanah air kecenderungan untuk berdialog telah berjalan dengan baik, terlihat antara lain dari kegiatan-kegiatan diskusi oleh Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang melibatkan penganut agama-agama selain Islam. Acara temu-muka di Masjid Al Hikmah itu sendiri juga dihadiri oleh mantan Ibu Negara Sinta Nuriyah, Konsul Jenderal RI di New York Trie Edi Mulyani, Ketua Dewan Masjid Al Hikmah Syamsi Ali, serta pemuka masyarakat Indonesia, Achmad Padang. (*)

Copyright © ANTARA 2008