Jakarta (ANTARA News) - Pelaku pasar saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) menunggu realiasasi penawaran umum perdana (IPO) PT Adaro Energy Tbk. Dengan target perolehan dana segar Rp12,3 triliun, IPO Adaro akan membuat pasar saham di BEI lebih "likuid". "Masuknya saham Adaro diharapkan akan menambah `likuid` perdagangan saham di bursa," kata Direktur Utama BEI Erry Firmansyah. Pendapat senada disampaikan oleh beberapa pelaku pasar saham, yakni Direktur PT Asia Kapitalindo Sekuritas Harry Kurniawan dan Analis Riset PT Paramitra Alfa Sekuritas, Pardomuan Sihombing. Adaro Energy Tbk akan melepas 34,83 persen atau 11,14 miliar lembar sahamnya ke bursa dengan harga perdana Rp1.100 per lembar saham. Dengan harga sebesar itu nilai kapitalisasi saham Adaro Energy seluruhnya mencapai sekitar Rp35,2 triliun. Saat ini proses IPO Adaro sedang menunggu pernyataan efektif dari Bapepam. Saham Adaro, menurut Pardomuan Sihombing, memiliki prospek sangat bagus karena industri tambang batubara sedang booming di pasar komoditas. Perusahaan itu mengoperasikan usaha tambang terintegrasi di Kalimantan Selatan dengan produksi 36 juta ton (2007) dan jumlah cadangan 928 juta ton batubara. "Masuknya Adaro ke bursa akan menjadikan saham ini masuk dalam jajaran 10 terbesar nilai kapitalisasinya, di bawah Bumi Resources Rp160 triliun dan Telkom Rp150 triliun. Pelaku pasar jadi lebih banyak pilihan," kata Pardomuan. Antusiasme pasar terhadap saham Adaro dapat terlihat dari hasil book building 26 Mei-5 Juni lalu yang mengalam kelebihan permintaan sebanyak 6,57 kali dengan jumlah total Rp76,8 triliun. Sebanyak 81,3 persen permintaan tersebut berasal dari investor asing dan 18,7 persen lainnya dari investor lokal, yang sebagian besar didominasi investor institusi. "Saham ini sangat menarik. Dlihat dari valuasinya, price earning (PE) Adaro adalah 16 kali, sedangkan industri sebesar 25 kali," tambahnya. Sementara itu Direktur PT Asia Kapitalindo Sekuritas Harry Kurniawan berharap, masuknya saham Adaro ke lantai bursa akan menambah nilai kapitalisasi pasar BEI hinga Rp2.000 triliun. "Jika Adaro sudah berhasil masuk, diharapkan akan diikuti perusahaan batubara lainnya seperti Kideco dan Berau Cool," kata Kurniawan. Meski sempat muncul kontroversi di media massa, Harry yakin Adaro akan lolos memenuhi ketentuan hukum pasar modal. "Saya lihat masalah Adaro berada di lapisan atas (pemegang saham), bukan di Adaro-nya. Saya yakin Bapepam-LK (Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga keuangan) akan memberikan persetujuan `efektif` atas rencana IPO ini," kata Harry. Ia menambahkan pasar saham sangat antusias ini dapat dibuktikan dari kondisi pasar yang mengalami tekanan dan bergerak fluktuatif karena kondisi perekonomian global dan inflasi tinggi, namun hasil yang dicapai dalam book building Adaro cukup menggembirakan dan tak terpengaruh oleh kontroversi yang terjadi. Salah satu anak perusahaan tersebut yakni PT Dianlia Setyamukti terlibat perkara perdata dengan Beckkett Pte Ltd di pengadilan Singapura sehubungan dengan transaksi jual-beli 40 persen saham Adaro Indonesia dari Deutsche Bank kepada Dianlia pada 2002. Saham Adaro digadaikan oleh Beckkett kepada Deutsche Bank pada 1997 sebagai jaminan atas hutang sebesar 100 juta dolar AS. Deutsche Bank menjual saham tersebut setelah anak perusahaan Beckkett tidak membayar hutangnya pada saat jatuh tempo. Gugatan hukum ini telah ditolak oleh hakim Pengadilan Tinggi Singapura, dan kini dalam proses banding di Mahkamah Agung Singapura. Gugatan sejenis diajukan oleh Winfield Intl Investment di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, namun juga ditolak oleh hakim. Penjualan saham dari Deutsche Bank kepada Dianlia yang saat ini menguasai 5,84 persen saham Adaro Indonesia dinyatakan sah dan tidak melanggar ketentuan apapun. Gugatan Tak Halangi IPO Mantan ketua Bapepam Marzuki Uzman nmengatakan, perusahaan yang sedang dalam proses hukum masih bisa melakukan IPO. "Asal masalah hukum yang dihadapi itu masalah perdata. Kalau kasusnya pidana atau kriminal, jelas tidak bisa masuk bursa," kata Marzuki. Ia menambahkan, yang paling penting dari perusahaan yang melakukan IPO adalah memberikan keterbukaan sehingga investor mengetahui resiko jika membeli sahamnya. "Yang penting tranparansinya. Semua harta yang berhubungan dengan hukum diungkapkan secara jelas, sehingga investor dapat menilai, apakah mau beli atau tidak," jelasnya. Adaro Energy sendiri sudah menguraikan masalah hukum yang terkait dengan anak perusahaannya pada prospektus awal penawaran saham yang dirilis 13 Mei lalu. "Semua resiko usaha perseroan sudah kami jelaskan pada prospektus, tidak ada yang ditutup-tutupi," kata Sekretaris Perusahaan Adaro Energy Tbk, Andre J Mamuaya. Pihaknya berani mengajukan IPO karena faktanya pada saat ini tidak ada satupun keputusan hukum yang melarang Adaro melakukan aksi korporasi. Erry Firmansyah juga menekankan pentingnya transparansi bagi perusahaan yang akan melakukan IPO. "Dengan adanya transparansi, investor sudah mengetahui resiko sejak awal, sehingga jika terjadi permasalahan di kemudian hari tidak akan menjadi preseden buruk," jelasnya. (*)

Editor: Anton Santoso
Copyright © ANTARA 2008