Oleh Suryanto Jakarta (ANTARA News) - Kerusakan sistem finansial AS yang bermula dari keruwetan masalah kredit perumahan, telah mewabah ke berbagai negara di belahan dunia melalui pasar modal, uang, dan komoditas sebagai indikator utama perekonomian. Hampir seluruh saham di belahan dunia harganya jatuh, tidak terkecuali di Bursa Efek Indonesia (BEI), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) jatuh setelah bersusah payah mencapai "recovery" sejak terjerembab akibat krisis moneter Asia 1997 hingga 1999 lalu. Seolah krisis keuangan kedua yang diramalkan sebagian ekonom beberapa waktu lalu terjadi pada bulan ini. IHSG BEI yang sempat bertengger di atas 2.000 poin pada Agustus, berangsur melemah seperti tidak bisa ditahan. Hingga menjelang libur panjang Idul Fitri 26 September lalu, IHSG masih berada di atas level 1.800 poin sebelum jatuh dan otoritas bursa (Departemen Keuangan c.q. Bapepam/LK) mengambil langkah penghentian sementara perdagangan (suspend) pada sesi kedua Rabu (8/10) lalu. Sempat terjadi tarik ulur antara penantian pasar dengan pembahasan program bailout (dana talangan) 700 miliar dolar AS untuk American International Group (AIG) di parlemen AS. Program dana talangan bagi raksasa perusahaan keuangan AS pun disetujui setelah Presiden Bush sedikit menekan. Ketika terjadi tarik ulur, pasar pun dilanda kebingungan sehingga saham di Wall Street, Eropa, maupun Asia Pasifik ditutup bervariasi (mixed). Tidak lama setelah itu, harapan akan pulihnya pasar setelah bailout disetujui dan ditandatangani Bush, ternyata berubah menjadi "malapetaka". Penyelamatan oleh pemerintahan Bush ternyata tidak mampu mendinginkan pasar yang terlanjur percaya pemulihan butuh waktu meski bailout sudah dilakukan. Indeks saham, nilai tukar, dan harga komoditas- kecuali emas-, berjatuhan, pasar dunia dilanda kepanikan. IHSG BEI lagi-lagi terancam ketika semua melihat saham Wall Street, Eropa, dan Asia jatuh. Otoritas bursa Indonesia kembali mengumumkan penutupan sementara transaksi di BEI pada 9 Oktober setelah pada perdagangan terakhir sebelumnya IHSG jatuh hingga ke posisi 1.451,669. Pengumuman bahwa otoritas bursa akan membuka kembali perdagangan efek di BEI pada Jumat (10/10), batal dilaksanakan dengan alasan pemerintah masih mengevaluasi perkembangan dampak memburuknya pasar saham regional dan internasional. Di pasar uang Jakarta, meski Bank Indonesia dikatakan telah melakukan intervensi, namun rupiah terus melemah terhadap dolar AS. Pada perdangan Jumat kemarin, nilai tukar rupiah turun tajam 265 poin menjadi Rp9.860/9.970 per dolar AS dibanding penutupan hari sebelumnya Rp9.595/9.627. Lima langkah penyelamatan dampak krisis AS pun diumumkan pemerintah Indonesia, pertama upaya mark to market, meninjau aturan pembelian kembali (buy back) saham perusahaan publik, kemudian membeli kembali saham-saham BUMN, meningkatkan likuiditas APBN melalui pencairan anggaran kementerian dan lembaga, serta penegakan hukum pasar modal. Berbagai komentar, kritik, dan analisa atas langkah itu pun berdatangan. Sebagian ekonom menyatakan keputusan "buka-tutup" perdagangan saham di BEI dinilai sebagai ketidaksiapan pemerintah menghadapi gejolak pasar. Pemerintah dianggap belum mengambil langkah yang bisa menumbuhkan kepercayaan pasar, tetapi sebaliknya justru membingungkan. Yang menjadi pertanyaan besar lain, kenapa pemerintah tiba-tiba membentuk satuan tugas (task force) melibatkan Polri, Depkeu, dan Kejaksaan Agung, untuk menindak tegas pelanggaran pasar modal? Apakah ini sinyal adanya pihak-pihak yang melakukan pelanggaran hukum dalam aktivitasnya di pasar modal Indonesia, BEI? Ini seolah memposisikan pemerintah "menantang" pelaku pasar, dan bukan merangkul. Kalau pun indikasi itu benar, kenapa tidak dilakukan secara diam-diam dulu dan mengumumkannya setelah memperoleh bukti dan menindaknya. Apakah ini hanya sebagai "gertakan" bagi mereka yang sering mengejar keuntungan pribadi dan mengabaikan hukum serta "keselamatan" banyak orang? Tidak Sendiri Apa pun itu, Indonesia tidak lah sendiri dalam menghadapi gejolak finansial dunia yang dipicu kondisi di AS itu. Bahkan, dari sisi dampak masih perlu diukur apakah Indonesia lebih parah dari negara lain yang tergolong maju sekali pun, masih perdebatan. Sebagaimana dilaporkan berbagai media massa besar dunia, krisis keuangan AS telah mempengaruhi tatanan sistem keuangan berbagai negara di benua Amerika sendiri, Eropa, Asia Pasifik, Asia Selatan, bahkan Timur Tengah. Di Amerika misalnya, presiden Felipe Calderon mengalokasikan 4,4 miliar dolar bagi proyek-proyek energi dan infrastruktur untuk mendorong perekonomian. Bank sentral negara itu bahkan juga menyisihkan 2,5 miliar dolar cadangan devisa untuk mengatasi kejatuhan peso. Di AS, negeri sumber masalah itu, Treasury Secretary Henry Paulson mengingatkan bahwa sejumlah bank akan gagal ditengah upaya penyelamatan dengan dana talangan 700 miliar dolar untuk memperbaiki sistem finansial keuangan. Beralih ke Asia Pasifik, bank sentral Australia telah memangkas suku bunga utama dari 7% menjadi 6%, melebihi penurunan yang sudah diperkirakan. Pengamat telah mengira pemangkasan suku bunga hanya 0,5 poin untuk menekan inflasi. Cina yang disebut-sebut sebagai yang lebih kuat menghadapi situasi ini, juga memotong suku bunga 0,27 persen poin. Negara kuat Asia lain, Jepang, juga menyerukan segera dilakukan penyelamatan untuk meredam gejolak. Perdana menterinya Taro Aso mengatakan ia akan meminta sebuah pertemuan darurat G8 apabila dalam pertemuan menteri-menteri keuangan negara maju di Washington (Jumat waktu setempat) tidak menghasilkan kesepakatan untuk mengatasi krisis kredit. Dia juga mengatakan tindakan lebih harus diambil untuk mendukung pemulihan ekonomi, meski setelah parlemen menyetujui 1,8 triliun yen sebagai rencana stimulan dan bank sental Jepang menaruh 4,5 triliun yen ke sistem perbankan. Selanjutnya bank sentral Korea Selatan, Hongkong, dan Taiwan yang telah menjadi anggota negara-negara yang sedang tumbuh, juga akan memangkas suku bunga mereka. Negara-negara Eropa yang diharapkan menjadi kekuatan pembanding bagi AS sejak diberlakukannya mata uang tunggal euro, juga sibuk dengan upaya-upaya mengurangi dampak dari krisis itu. Pejabat pemerintah Austria mengumumkan sebuah program penjaminan kepada seluruh dana simpanan masyarakat di bank, diberlakukan kembali mulai 1 Oktober ini. Disusul pemerintah Belgia yang menyetujui untuk menjamin dana simpanan di bank yang nilainya di atas 100.000 euro (136 ribu dolar), sebuah kenaikan sebesar 80.000 euro. Bank terbesar Belgia, Fortis, membutuhkan intervensi pemerintah Belanda dan Belgia dengan menjual sebagian asetnya kepada Raksasa keuangan Perancis, BNP Paribas. Langkah lebih radikal diambil Denmark. Parlemen negara ini menyetujui usulan pemerintah untuk memberikan jaminan tidak terbatas bagi simpanan pihak ketiga di bank, langkah serupa diambil Mesir, Irlandia, dan Hungaria. Hungaria menyediakan jaminan bagi simpanan di bank senilai 13 juta forint (67.000 dolar), naik dari sebelumnya yang hanya 6 juta forint. Di Jerman. Perusahaan pembiayaan perumahan terbesar di negara itu, Hypo Real Estate, telah terancam bangkrut minggu lalu setelah terjebak oleh kredit macet dalam jumlah besar. Perusahaan itu selamat setelah penyelamatan yang disponsori pemerintah dilakukan. Di Islandia, otoritas setempat memutuskan untuk mengambilalih bank terbesar, Kaupthing, pengambilalihan ketiga dalam beberapa hari terakhir setelah sebelumnya menasionalisasi dua bank terbesar lainnya, Landsbanki dan Glitni. Dalam negoisasi dengan Rusia untuk mendukung sistem perbankan Islandia, Moscow telah mencairkan 5 miliar dolar dana bantuan darurat sehingga pemerintah menjadi pengendali bank-bank papan atas itu. Tidak hanya negara-negara yang memang rentan goncangan, Italia juga mengambilalih saham bank lokal yang terkena dampak krisis. Pemerintah Belanda akan menyisihkan 20 miliar euro untuk melindungi sektor keuangan mereka dan menjamin simpanan di bank sampai 100.000 euro sama dengan yang dilakukan Spanyol. Di Rusia, parlemen rendah negara itu, the State Duma, mengeluarkan kebijakan memberi 1,3 triliun rouble (50 miliar dolar) kepada lembaga negara Bank of Development and Foreign Economic Activities untuk membantu bank penanaman modal asing di Rusia. Rusia juga menghentikan perdagangan di dua bursa saham utama setempat setelah harga saham jatuh. Lalu di salah satu "raksasa" Eropa, Inggris, pemerintah mengumumkan paket bantuan 50 miliar poundsterling (88 miliar dolar) bagi beberapa bank dan perusahaan perumahan besar. Sebagai imbalannya, pemerintah akan menerima saham-saham di perusahaan-perusahaan itu. Pemerintah juga mengumumkan angka pengangguran akan meningkat 350 ribu tahun depan. Di benua Timur Tengah, saham-saham di negara-negara Arab mengalami kejatuhan terbesar dalam tahun ini akibat kekhawatiran melemahnya bisnis perumahan di Dubai dan tekanan pasar global. Negara di Asia selatan, India, juga terpaksa menyuntikkan 600 miliar rupe (12,2 miliar dolar) ke pasar uang setelah penurunan tajam harga saham di bursa efek Mumbai dan jatuhnya nilai tukar rupe ke level terendah sepanjang sejarah. (*)

Oleh
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008