Kabul (ANTARA News) - Polisi Afgan menembak mati tentara Amerika Serikat di propinsi Paktika, Afganistan timur, pada Kamis, kata pejabat propinsi dan tentara negara adidaya tersebut, sebelum akhirnya balik ditembak mati. Gubernur propinsi itu, Akram Akhpalwak, menyatakan sejumlah tentara Barat dan petugas Afgan dalam rapat berkala di daerah Bermel sewaktu satu polisi Afgan menembak mati tentara itu dari menara pengawasan. Tentara sekutu itu kemudian balas menembak dan membunuh penyerang tersebut. "Masih belum jelas mengapa serangan itu terjadi," kata Gubernur Akram Akhpalwak. Pernyataan tentara Amerika Serikat menyatakan polisi Afgan itu menembak dan melemparkan granat ke peronda, yang kembali ke pangkalan depan. Itu merupakan kejadian serupa kedua dalam sebulan. Pada 28 September, satu tentara dari pasukan terpisah pimpinan persekutan pertahanan Atlantik utara NATO ditembak mati polisi Afgan dalam pertengkaran. Polisi itu kemudian dibunuh tentara lain. Polisi dan tentara Afgan bertugas di samping pasukan asing untuk membendung peningkatan perlawanan pejuang Taliban. Sebelum serangan Kamis itu, 243 tentara gabungan pimpinan Amerika Serikat dilaporkan tewas di Afganistan pada tahun ini. Sejumlah 612 tentara Amerika Serikat tewas di Afganistan sejak pemerintah Taliban digulingkan serbuan pimpinan negara adidaya itu pada 2001. Menteri Pertahanan Afgan Abdul Rahim Wardak pada Selasa menyatakan 2008 merupakan yang terburuk untuk kekerasan pemberontak, dengan menyatakannya sebagian karena makin banyak "teroris" datang dari Irak. Pasukan asing pimpinan NATO tidak akan bisa menghasilkan perdamaian dan ketenangan bagi Afganistan, kata Perdana Menteri Kanada Stephen Harper di Ottawa pada pekan lalu. "Saya tidak percaya -dan saya telah mengatakan beberapa kali bahwa saya tidak percaya- bahwa kami sebagai pasukan asing bisa menciptakan suasana tenteram di setiap sudut Afganistan," kata Harper dalam wawancara dengan televisi CBC. Panglima Inggris di Afganistan menyatakan tak dapat menang perang melawan Taliban, kata "Sunday Times". Koran itu mengutip keterangan Brigjen Mark Carleton-Smith, yang menyatakan dalam wawancara bahwa jika Taliban ingin berbicara, maka itu mungkin "secara tepat merupakan kemajuan", yang perlu untuk mengahiri perlawanan. "Kami tidak akan menang dalam perang ini. Itu adalah tentang pengurangannya sampai tingkat dapat ditangani, yang bukan ancaman strategis dan bisa dikelola tentara Afganistan," katanya. Panglima dan diplomat NATO beberapa kali menyatakan perlawanan Taliban tidak bisa dikalahkan hanya oleh tentara dan perundingan dengan pejuang pada akhirnya diperlukan untuk mengakhiri kemelut itu. Kekerasan di Afghanistan meningkat sampai tingkat terburuk sejak 2001, ketika tentara pimpinan Amerika Serikat menggulingkan penguasa Taliban sesudah serangan 11 September atas negara adidaya tersebut. Seorang panglima utama Taliban sebelumnya menolak berdamai dengan yang disebutnya pemerintah boneka Afgan. Saudara Mullah, yang menjabat panglima tertinggi tentara saat Taliban berkuasa, mengulangi tujuan perang Taliban untuk bertempur sampai lebih dari 70.000 tentara Amerika Serikat dan NATO terusir dari negara itu. Ia menyatakan pejuang tidak akan berunding jika masih ada tentara asing di tanah Afganistan. Presiden Afganistan Hamid Karzai pada pekan sebelumnya menyatakan meminta raja Arab Saudi menjadi penengah perundingan dengan pejuang itu dan menyeru pemimpin Taliban Mullah Omar kembali ke tanah airnya dan berdamai, demikian AFP dan Reuters.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008