Oleh Edy Supriatna Sjafei Jeddah (ANTARA News) – Panitia Pelaksana Ibadah Haji (PPIH) sudah menyiapkan kiat guna mengatasi berbagai persoalan mendesak dalam memberikan pelayanan bagi jemaah haji yang mulai tiba di Makkah medio Nopember 2008 ini. Kiat yang dipersiapkan itu berupa upaya mengatasi keluhan akibat jarak tempuh jemaah haji dari pemondokan ke Masjidil Haram terlalu jauh. Termasuk juga kiat mengatatasi kemungkinan peristiwa catering di Arafah-Mina (Armina) terulang kembali, persoalan kekurangan air bersih pasca wukuf di sejumlah pemondokan, transportasi, pelayanan jemaah uzur, aspek kesehatan dan pelayanan jemaah selama di Makkah. Petinggi Departemen Agama, seperti Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umroh, Slamet Riyanto, Ketua PPIH dan Teknis Urusan Haji (TUH) Nursamad Kamba, melalui media massa yang tergabung dalam Media Center Haji (MCH) mengaku sudah mempersiapkan sejumlah langkah sebagai antisipasi bila keadaan mendesak. Ia tak menyebut secara rinci. Namun untuk darurat di lapangan pun pada pelaksanaan puncak ritual haji pada musim haji 1429 H/2008 M ini sudah disiapkan. Kiat yang dilontarkan para petinggi Depag di tanah suci selama ini, jika dilihat kondisi di lapangan, masih perlu optimalisasi. Pasalnya, identifikasi masalah di lapangan belum pas betul dengan persiapan di lapangan. Terlebih, salah satunya, jika dikaitkan dengan jumlah tenaga di lapangan untuk memberikan pelayanan bagi jemaah terasa kurang. Sebelumnya, Menteri Agama (Menag) Muhammad Maftuh Basyuni telah minta, agar persoalan yang ada, seperti pemondokan yang jaraknya jauh dari Masjidil Haram, tak ditutup-tutupi. Ini dimaksudkan agar sosialisasi “medan” di Makkah dapat segera diketahui jemaah haji di tanah air. Harus diakui persoalan pelayanan jemaah haji dari tahun ke tahun mengalami dinamika pesat. Namun, jika diidentifikasi persoalannya memang dari tahun ke tahun hampir sama: yaitu soal pemondokan, catering, transportasi, pelayanan kesehatan, pelayanan kedatangan dan pemulangan. Untuk musim haji tahun ini, potensi yang muncul ke permukaan dan menjadi sorotan publik adalah masalah pemondokan dan angkutan bagi jemaah calon haji ke masjidil haram. Hal ini sebagai dampak adanya perubahan atau perluasan Masjidil Haram sebagai upaya perbaikan yang dilakukan pemerintah Kerajaan Arab Saudi. Perluasan areal Masjidil Haram yang dilakukan pemerintah setempat sebagai upaya meningkatkan pelayanan bagi jemaah dari seluruh dunia merupakan suatu keharusan. Nyatanya, hal itu telah memberikan dampak sedemikan dahsyat bagi penempatan pemondokan jemaah haji dari seluruh dunia. Jarak tempuh yang demikian jauh, hingga mencapai 10 km, ke Masjidil Haram telah dikeluhkan jemaah dari seluruh dunia. Jadi, keluhan bukan saja bisa muncul dari jamaah Indonesia. Negara lain mengalami hal sama. Cuma, karena jemaah haji Indonesia menempati urutan terbanyak dari seluruh dunia (sekitar 210 ribu, sesuai kuota), disusul Turki, Pakistan, Bangladesh dan India, Malaysia, maka tak mustahil kekecewaan itu bakal “menggelinding” menjadi “bola salju”. Bahkan dapat diplintir dan dijadikan komoditas politik di tanah air. Dari catatan MCH, jemaah haji Indonesia memperoleh 601 pemondokan yang berada di bawah koordinasi 15 sektor pada Daerah Kerja (Daker) Makkah. Lima di antaranya menempati wilayah terjauh dari Masjidil Haram, yaitu sektoir 6 dan 7 berada di wilayah Syaukiyah dan Ka’kiyah. Jarak tempuhnya mencapai 6 hingga 7 km dari Masjidil Haram. Di sektor 6 terdapat 57 pemondokan dengan kapasitas 14.000 rumah. Sedangkan yang berjarak antara 4-5 km dari Masjidil Haram, terdapat di Nus-zhah dan Rosyepah. Wilayah terjauh berada di Tan’im, sekitar 8 km dari Masjidil Haram. Wilayah ini dikoordinir petugas sektor 12. Bagi umat Muslim di tanah air yang pernah berhaji akan memahami bahwa wilayah Tan’im merupakan perbatasan Tanah Haram namun masih masuk kota Makkah. Untuk ukuran warga Jakarta, jarak dari Tan’im ke Masjidil Haram, yang dapat ditempuh sekitar 20 menit, memang tergolong dekat. Namun disarankan bagi jemaah yang berada di wilayah ini disarankan tak setiap saat dapat ke Masjidil Haram, karena saat puncak haji demikian padatnya seluruh ruas jalan di kota Makkah. Dirjen Haji dan Umroh Departemen Agama (Depag) RI, Slamet Riyanto, mengatakan bahwa pahala sholat di Masjidil Haram dan di kawasan Tan’im sama besarnya. Selama yang bersangkutan sholat di tanah suci, tak mengurangi pahala seseorang. Sedangkan, jarak 3 km dari Masjidil Haram adalah wilayah Zahir dan Ummul Jud (sektor 5 dan 11). Sedangkan jarak 2 km bagi jemaah Indonesia berada di Aziziyah Janubiyah, Aziziyah Syamaliyah, Aziziyah Syissha dan Mahttot Bank (sektor 1,2 , 3 dan 4). Wil;ayah yang berada di ring I Mahda’ah-Ja’far, Burujul Alam dan Bahutma Haram (sektor 13, 14, dan 15). Ketiga wilayah ini berjarak sekitar 1,5 km dari Masjidil Haram. Menghadapi kenyataan itu semua, persiapan PPIH harus optimal. Pembenahan sudah dilakukan, salah satu yang menonjol adalah dari struktur organisasi Daerah Kerja (Daker). Jika pada tahun lalu untuk Daker Makkah yang dipimpin seorang kepala, untuk musim haji sekarang ditambah wakil Daker. Wakil Kepala Daker (Wakadaker) diharapkan bekerja lebih fokus kepada penanganan transportasi, antisipasi jemaah sesat, pengawasan pelaksanaan penggunaan transportasi. Cepi Supriatna, yang berpengalaman menangani daerah kerja di Jeddah pada tahun lalu, sekarang dipercaya dapat membenahi transportasi di Makkah. Untuk mengangkut jemaah yang jauh, menurut Nursamad Kamba, pihaknya akan mengerahkan sekitar 600 bus yang dioperasikan secara bertahap. Kadaker Makkah, Zaenal Abidin Supi, mengaku bus yang akan dikerahkan tersebut akan dioperasikan pada jam-jam tertentu. Jadwalnya sudah ditentukan dan menjemput jemaah di sejumlah tempat yang ditentukan. Lagi-lagi harus diakui bahwa peningkatan pelayanan bagi jemaah haji tak tergantung pada kenyamanan transportasi semata. Kontribusi dari petugas PPIH lainnya dinantikan. Pelayanan kesehatan di pemondokan sangat penting untuk menjaga kesehatan setiap jemaah agar tetap prima. Dengan demikian, potensi keruwetan transportasi akibat pemondokan jauh dari Masjidil Haram persoalannya diharapkan dapat dieleminir. Para Pimpinan Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) diharapkan memberi kontribusi nyata. Yaitu, dapat memberikan kesejukan dan penjelasan tentang perubahan fisik di kota Makkah. Memberi pemahaman bahwa ibadah haji merupakan ritual puncak dari ketaqwaan seseorang, kata Dirjen Haji dan Umro, Slamet Riyanto. Mabrur tidaknya haji seseorang adalah hak prerogatif Allah, kata Menteri Agama, M. Maftuh Basyuni para suatu kesempatan. Hal yang jelas, katanya, manusia hanya berharap, siapa pun dia yang memiliki kedudukan tinggi atau pun petani kecil, yang telah berhaji akan mengalami perubahan dalam dirinya. Utamanya, tentu yang diharapkan, sikap dan perbuatannya yang dibawa ke tanah air dapat diteladani banyak orang. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008