Medan,  (ANTARA News) - Praktik pembajakan software atau piranti lunak komputer di Indonesia masih tinggi karena masih rendahnya kesadaran dan budaya masyarakat dalam menghargai hak cipta software.

"Padahal secara teknis, praktik pembajakan itu justru merugikan masyarakat karena perangkat komputernya mudah rusak dan terserang virus komputer," kata Perwakilan Business Software Alliance (BSA), Donny A. Sheyoputra dalam sosialisasi Piagam Hak Kekayaaan Intelektual (HKI) di Medan, Rabu.

Berdasarkan data BSA internasional, Indonesia menempati peringkat 12 dalam pembajakan software di bawah Armenia (peringkat 1), Bangladesh (2),
Azerbeijan (3) dan Vietnam (11).

Menurut dia, dalam dua tahun terakhir pihaknya telah menjadi saksi ahli dalam 108 persidangan kasus pembajakan software yang berhasil ditemukan pihak kepolisian.

Jumlah tersebut diperkirakan jauh lebih besar karena masih banyak praktik pembajakan software yang belum terungkap atau tidak diproses secara hukum karena minimnya pengetahuan personel kepolisian dalam bidang teknologi itu.

Banyaknya praktik pembajakan software itu menyebabkan perusahaan yang memproduksi perangkat lunak tersebut mengalami kerugian yang sangat besar.

Pada tahun 2006, perusahaan-perusahaan yang memproduksi software itu mengalami kerugian sekitar 350 Dollar AS. "Sedangkan untuk tahun 2007 jumlahnya meningkat hingga 411 Dollar AS," katanya.

Ia menambahkan, salah satu penyebab terjadinya praktik pembajakan software tersebut karena masih rendahnya kesadaran dan keinginan masyarakat untuk menghargai kekayaan intelektual pihak lain.

Masyarakat juga kurang menyadari bahwa penggunaan software bajakan menyebabkan perangkat komputernya sangat beresiko terhadap serangan virus.

Pihaknya mengimbau masyarakat untuk menghindari praktik pembajakan software tersebut dan mendaftarkan perangkat komputernya kepada BSA.

Selain terhindar dari peluang terserang virus komputer, masyarakat akan diberikan piagam HKI dan terhindar dari kemungkinan diproses secara hukum akibat melakukan pembajakan software, katanya.(*)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2008