Jakarta (ANTARA News) - Departemen Pertanian (Deptan) mengungkapkan penyimpangan yang terjadi di lembaga itu selama 2008 telah merugikan negara hingga Rp1 miliar.

Inspektur Jenderal Departemen Pertanian, Mulyanto, di Jakarta Selasa mengatakan, jika dibandingkan dengan total anggaran Deptan selama setahun yakni Rp8,7 triliun, maka nilai penyimpangan tersebut relatif kecil atau setara 0,2 persen.

"Dari kasus kerugian negara sebesar Rp1 miliar dalam waktu yang tidak terlalu lama sudah 70 persen dana tersebut dapat dikembalikan ke Negara," katanya ketika menjelaskan rencana Pencanangan Wilayah Bebas Korupsi (WBK) di lingkup kerja Deptan.

Rencananya, pada 5 Maret 2009 Menteri Pertanian akan mencanangkan Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) di 223 unit kerja di lingkup kerja Deptan di seluruh wilayah Indonesia.

Penetapan WBK tersebut akan dijadikan momentum bagi Deptan untuk terus melakukan monitoring dan evaluasi terhadap setiap unit kerja tentang pembinaannya.

Irjen Deptan mengatakan, sejak 2008 ada 123 pengaduan, tetapi tidak semua pengaduan diproses, karena hanya pengaduan yang berkualitas yang akan ditindaklanjuti.

"Dari 123 pengaduan hanya 35 yang menjadi kasus dan dari 35 kasus tersebut 80 persen semuanya terbukti," katanya.

Sementara pada tahun 2007 ada sekitar 118 pengaduan, dari 118 pengaduan hanya 39 kasus yang diproses.

Mulyanto menuturkan, di lingkungan Inspektorat Jenderal Deptan masih terdapat beberapa kelemahan terutama mengenai sumber daya manusia dan anggaran untuk membiayai operasional dalam menjalankan tugas penyelidikan.

Terkait itu, tahun ini Deptan akan bekerjasama dengan Badan Intelijen Negara (BIN) untuk mendidik para pemeriksa dalam menyelidiki kegiatan seperti tender di Deptan dan penyaluran dana bantuan seperti PUAP (Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan) dan bantuan lainnya.

Untuk mendidik para intelijen tersebut dibutuhkan dana sebesar Rp700 juta yang masuk dalam anggaran Inspektorat Jenderal 2009.

Menurut dia, dalam penyaluran PUAP ada sekitar 1100 titik (desa) yang harus dipantau tetapi karena keterbatasan biaya operasional dan keterbatasan personil maka baru bisa dilakukan di sekitar 600 desa.
(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2009