Jakarta (ANTARA News) - Sejumlah anggota DPR RI mengajukan hak angket soal Daftar Pemilih Tetap (DPT) pemilu legislatif yang dinilainya kisruh, yang dibacakan dalam Rapat Paripurna DPR RI di Jakarta, Selasa.

Surat angket DPT yang ditandatangani oleh 38 anggota itu diserahkan kepada Ketua DPR Agung Laksono pada 27 April lalu, dan selanjutnya akan dibahas di Badan Musyawarah (Bamus) DPR untuk diagendakan pengambilan keputusannya di sidang paripurna.

Hasto Kristiyanto, dari Fraksi PDIP, mewakili pengusul mengatakan, DPR harus bersikap tegas atas hilangnya hak warga negara untuk memilih.

"Karena itu, hak angket ini harus ditegakkan sebagai upaya untuk menyelamatkan demokrasi. Persetujuan terhadap angket ini akan memperkuat tradisi pelaksanaan demokrasi jujur dan adil (jurdil) di Indonesia," katasnya, saat membacakan usul hak angket terhadap pelanggaran hak konstitusional warga negara itu.

Persetujuan terhadap hak angket DPT pemilu legislatif, menurut dia, juga menjadi prasasti penting agar pemerintah dan KPU benar-benar menyadari, bahwa apa yang mereka lakukan merupakan pelecehan atas hak warga negara.

Pemberitaan terkait dengan persoalan DPT, katanya, tetap tidak mengubah sikap pemerintah dan KPU. Pemerintah tetap menyatakan tidak bertanggung jawab atas buruknya kualitas proses yang berdampak pada buruknya DPT.

"Pemerintah lupa, bahwa APBN 2007 telah menyediakan anggaran Rp230 miliar untuk Sistem Informasi dan administrasi kependudukan. Di luar itu, Depdagri juga menerima dukungan dana pemilu melalui APBN tahun 2008 sebesar Rp667,73 miliar, dan sebesar Rp174,6 miliar melalui APBN 2009," ujarnya.

Anggaran tersebut, menurut Hasto, di luar anggaran untuk pemutakhiran daftar pemilih hingga penetapan DPT sebesar Rp3,8 triliun.

Para pengusul berpendapat, penyederhanaan DPT sebagai persoalan teknis administratif hanya berujung pada ketidakpercayaan yang besar terhadap mekanisme demokrasi.

"Semakin banyak warga negara yang tidak bisa memilih, semakin besar pula gugatan atas legitimasi pemilu itu," ucapnya.

Pengusul juga menyoroti tidak adanya kepastian hukum dan banyaknya warga negara yang tidak bisa memilih sebagai pertimbangan pengajuan usulan hak angket.

Ini adalah pilihan politik yang harus diambil, mengingat persoalan yang terkait dengan Daftar Penduduk Pemilih Potensial Pemilu (DP4) dan Daftar Pemilih tetap sering dianggap sebagai kesalahan administratif semata, ujarnya.

"Pengusul hak angket berpendapat, bahwa baik DPS maupun DPT adalah daftar rakyat berdaulat untuk memilih. Karena itulah pengajuan usul hak angket adalah pilihan yang tepat di tengah ketidakpastian hukum dan tidak adanya pihak yang mengaku bertanggung jawab atas masalah tersebut," ujarnya.

Pengusul hak angket berpendapat bahwa pemerintah diduga melanggar peraturan perundang-undangan, yang menjadi pertimbangan dari pengajuan hak angket, seperti UU No 32 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, UU No 10 tahun 2008 tentang Pemilu, UU No 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia dan UU No 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional Hak Sipil dan Politik.

Anggota F-PDIP ini menjelaskan, meskipun persetujuan hak angket ini tidak menghalangi penetapan hasil perolehan suara pemilu legislatif, namun persetujuan tersebut tetap memiliki makna politik penting guna menegaskan bahwa proses politik di DPR memiliki kekuatan untuk melakukan koreksi ditengah tipisnya harapan melalui jalur hukum.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009