Jakarta (ANTARA News) - Debat calon presiden (Capres) yang digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Jakarta, Kamis malam, nyaris tanpa perdebatan.

Pengamat politik dari Universitas Indonesia Profesor Iberamsjah bahkan menilai acara yang disiarkan langsung di televisi itu lebih seperti forum penyampaian visi misi daripada debat.

Namun, menurut Iberamsjah, model debat yang tanpa perdebatan itu mungkin yang diinginkan para capres yang tidak ingin terlibat saling serang dan debat kusir.

"Mereka takut akan ada saling serang dan terjadi debat kusir, jadi mereka sepakat saja bahwa debatnya seperti itu. Yah sudah kita nikmati saja debat yang seperti itu," katanya.

Bukan hanya tak ada debat, bahkan terlihat ada jawaban dari capres yang mengekor jawaban capres lainnya. Ini terlihat ketika Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan selaku moderator mengajukan pertanyaan kepada Megawati Soekarnoputri tentang apa yang akan ia lakukan untuk melindungi para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) apabila ia terpilih sebagai presiden.

Megawati menjawab perlindungan kepada TKI harus diberikan terlebih dahulu di dalam negeri melalui kontrak kerja yang jelas, karena perlindungan setelah mereka berada di luar negeri lebih sulit untuk dilakukan.

Ketika Susilo Bambang Yudhoyono diberi kesempatan untuk mengomentari jawaban Megawati, ia mengatakan setuju 200 persen dengan Megawati bahwa perlindungan harus terlebih dahulu dilakukan di dalam negeri, meski ia menambahkan perlindungan dalam negeri itu harus ditambah dengan penguatan di kedutaan besar Indonesia di luar negeri agar memantau kondisi TKI di lapangan.

"Saya setuju dengan pandangan Ibu," jawab Yudhoyono santun kepada Megawati yang berdiri di sebelah kanannya.

Jusuf Kalla pun mengawali komentarnya dengan kalimat yang sama dengan Yudhoyono. "Tentu saya sependapat dengan Ibu Mega," ujar Kalla lantang.

Ketika Megawati diberi kesempatan untuk menimpali kembali komentar dua pesaingnya itu, ia hanya berkata singkat lalu tersenyum.

"Ya, semua ngikut saya," ujar Megawati yang langsung diikuti tawa undangan. Megawati pun memilih tidak menimpali komentar Yudhoyono dan Kalla, melainkan puas berkata, "cukup."

Kejadian serupa juga terjadi ketika membahas soal pelanggaran hak asasi di masa lalu. Calon Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan sejumlah masalah pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di masa lalu dapat diselesaikan dengan berbagai cara tanpa mencederai rasa keadilan terhadap mereka yang menjadi korbannya.

"Bila itu jadi permasalahan, mari kita duduk bersama dan konsensus. Perlu ada solusi yang konstruktif dan melihat ke depan, akan ada solusi yang bijak," kata Yudhoyono.

Ia menjelaskan permasalahan pelanggaran HAM hendaknya bisa diselesaikan melalui mekanisme hukum, namun bila hal tersebut tidak bisa dilakukan maka diperlukan mekanisme lain termasuk dibentuknya komisi kebenaran dan rekonsiliasi seperti yang diterapkan untuk mengatasi permasalahan di Timor Timur (kini Timor Leste-Red).

"Contoh masalah Timtim, mau diangkat oleh PBB, saya menolak itu pada 2005. Akhirnya bisa kita selesaikan sendiri, kita tutup lembaran itu dan tatap masa depan, saya lihat peluang itu di luar justice masih tersedia seperti `truth` dan rekonsiliasi, kearifan kita semua yang akan memilih mana yang jadi pilihan," kata Yudhoyono.

Menanggapi jawaban Yudhoyono, Jusuf Kalla dan Megawati sepakat bahwa permasalahan hak asasi manusia di masa lalu perlu diselesaikan dengan landasan hukum yang ada dan menjadi cermin agar di masa yang akan datang tidak terjadi lagi.

Yudhoyono pun menyatakan setuju jawaban Jusuf Kalla ketika oleh moderator diberi kesempatan mengomentari jawaban Jusuf Kalla tentang langkah apa yang akan dilakukan untuk menangani masalah pungutan liar (pungli) dan suap dalam pelayanan masyarakat.

Terhadap pernyataan itu, Jusuf Kalla mengatakan perlunya ada pengawasan dan penetapan proses pelayanan masyarakat seperti pembuatan kartu tanda penduduk dan lainnya sehingga ada target waktu maupun tarif yang harus dipatuhi.

"Saya setuju dengan Pak Kalla tentang perlunya pengawasan disiplin, hukuman dan penghargaan. Tapi saya ingin menambahkan, bagaimanapun sosialisasi harus jelas, agar paham dan jelas bagi masyarakat," kata Yudhoyono.

Selain itu, Yudhoyono juga menambahkan perlunya ada sarana pada masyarakat untuk menyampaikan aduannya atas keluhan pelayanan terhadap masyarakat.

Yang agak menarik adalah ketika moderator menanyakan tentang pertahanan. Megawati Soekarnoputri tidak sependapat jika anggaran pertahanan hanya di bawah 50 persen dari kebutuhan minimum seperti realitas sekarang.

"Ini bukan cuma urusan Alutsista (Alat Utama Sistem Persenjataan), tetapi masalah kedaulatan negara yang harus dipertahanakan. Juga menyangkut tentunya pendidikan, pengadaan peralatan dan persenjataan, pelatihan, pun yang paling penting kesejahteraan prajurit beserta keluarganya," katanya.

Sementara itu Yudhoyono menyatakan, anggaran pertahanan akan dinaikkan secara bertahap sesuai dengan peningkatan anggaran pemerintah. Dikatakannya, anggaran pertahanan memang besar, dan anggaran yang ada sekarang masih cukup jauh.

Dikatakannya, pemerintah pernah menghitung bahwa kebutuhan minimal anggaran pertahanan adalah Rp120 triliun atau 12 persen dari APBN sebesar Rp1.000 triliun. Namun, saat ini anggaran pertahanan yang dialokasikan baru sebesar Rp35 triliun dan akan ditingkatkan secara bertahap hingga mencapai angka kebutuhan minimal sebesar Rp120 triliun.

"Ke depan sesuai dengan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan negara, anggaran akan dinaikkan dari Rp35 triliun menjadi Rp120 triliun secara bertahap. Ada porsi lainnya untuk kesejahteraan rakyat dan ekonomi. Sementara anggaran yang ada diarahkan untuk tugas operasional, pemeliharaan alutsista, pendidikan dan patroli," katanya.

Menurut Yudhoyono, sejalan dengan upaya memacu pertumbuhan ekonomi dan peningkatan anggaran pemerintah maka dalam lima tahun mendatang diharapkan anggaran pertahanan akan terus meningkat.

Terkait Alutsista, Jusuf Kalla menegaskan, untuk mengatasi persoalan itu harus dilakukan revitalisasi dan kemandirian dengan membuat sendiri.

"Untuk Alutsista maka pertama harus direvitalisasi semua Alutsista yang ada. Yang masih bisa digunakan tetap dipakai. Selain revitalisasi, kedua adalah membuat sendiri Alutsista yang mampu kita buat dengan semangat kemandirian," katanya.

Secara bersamaan, tambah Kalla, ke depan harus alokasikan anggaran secara efektif dan tidak tergantung dari luar negeri.(*)

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009