Jakarta,(ANTARA News) - Adakah "yang revolusioner" saat menanti dan menjadi pemirsa dalam debat ketiga calon presiden yang digelar pada Kamis (2/7) malam? Jawabannya, dapat diumpamakan dari sebuah laga bola, bahwa terjadinya gol berawal dari sebuah "conversation" antar pemain di berbagai lini.

Kata kuncinya, berwawan-kata, berwawan-tawa. Adakah "yang revolusioner" ketika salah seorang teman mengutarakan ujaran ngepop, "mancing duit, pake duit"? Jawabnya, itu sudah begitu saja berlaku, bukan hal anomali.

Reaksinya, tertawalah. Ayo tertawa, tertawa lagi, kalau tertawa jangan keras-keras (Bahasa Jawa: ayo ngguyu, ngguyu maneh, yen ngguyu lha aja seru-seru). "Dengan tertawa, berarti dirimu ada".

Ini tentu bukan hal yang patut ditertawakan ketika seorang sohib memanjatkan doa ketika menghadapi krisis keuangan global, "Tuhan, ampunilah mereka yang memble, karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat". Hemm...bukankah filsuf Feyerabend telah melontaran kritik bahwa "anomali" sebagai konsep bernilai penting dalam revolusi paradigma.

Tema yang diusung dalam debat terakhir itu, "Negara Kesatuan RI, Demokrasi, dan Otonomi Daerah", ditayangkan langsung oleh salah satu televisi swasta di Indonesia. Ingin menikmati "the real debate", peganglah resep instan, bahwa siapa yang tampil dengan anomali, dialah yang patut diberi acungan jempol.

Dalam debat kali ini, tak perlu ada pembedaan antara bahasa yang "meaningful" dan "meaningless". Dalam putaran debat kali ini, tak perlu ada pernyataan ilmiah, setengah ilmiah, sangat ilmiah.

Bagi pemirsa, bersiaplah kecewa, karena pengetahuan manusia pada hakekatnya tidak memiliki fondasi. Menurut filsuf Richard Rorty, ilmu yang mendukung realisme akan berujung kepada kesia-sian belaka.

Bukankah debat di antara tiga calon wapres putaran kedua, ujung-ujungnya tidak menyentuh pemecahan masalah konkret. Harian Kompas menulis, pandangan calon wakil presiden yang terkait dengan persoalan kesehatan, pendidikan dan keluarga berencana justru nyaris seragam dan kurang mendarat kepada tataran konkret.

Sementara, harian Republika menilai ketiga cawapres tidak menawarkan terobosan. Debat cawapres tetap dinilai kuranggreget. Debat hangat baru terjadi menjelang berakhirnya acara debat, namun acara keburu berakhir. Adakah depat capres putaran terakhir ini berakhir layaknya mesin diesel, mulanya dingin, hangat kemudian panas?

Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) I Gusti Putu Artha mengatakan debat kali ini berbeda dibandingkan dengan yang pernah dilaksanakan sebelumnya. Format debat antarcapres putaran terakhir ini diubah sehingga berbeda dari yang lalu.

"Dengan dihilangkannya sesi pendalaman oleh moderator, maka sesi ketiga yaitu debat antar capres menjadi lebih panjang. Diharapkan suasana menjadi lebih dinamis dan hangat," ujarnya. ""Kita minta kepada moderator agar memberikan pertanyaan yang terus meningkat, klimaksnya pada pertanyaan terakhir".

Pengamat politik, Yudi Latief, menyatakan, nuansa debat justru tak muncul karena tidak ada konfrontasi antar kontender. "Ketiga calon seolah sedang bermonolog. Seharusnya ada proposisi perdebatan yang jelas dan itu pun ditentukan oleh tema debat," kata Yudi seprti dikutip dari laman Kompas.

Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Firmanzah mengatakan debat tanpa menyertakan konfrontasi menyebabkan publik tidak bisa mendapatkan kekokohan visi dan misi para calon. "Masyarakat kita tengah mengalami kejenuhan politik dan informasi politik yang overload. Idealnya hanya dua atau tiga debat," katanya juga.

Yang revolusioner, yang frontal dalam debat capres? "Mungkin takut dicap kasar dan sebagainya. Padahal, tidak apa-apa, jangan-jangan memang itu yang ditunggu masyarakat," kata Firmanzah yang juga pengamat marketing politik.

Bukankah relevan tidaknya sebuah paradigma terpulang kepada apakah "ia jalan" atau justru tidak jalan? Relevan tidaknya suatu paradigma tergantung kepada apakah paradigma yang diomongkan oleh para capres bisa memecahkan "puzzle".

Karena itu, cari dan temukan anomali dalam debat capres putaran terakhir ini. Anomali muncul karena ada konfrontasi dengan pengalaman.Perbanyak anomali, maka publik bakal kepincut. Perbanyak konfrontasi, maka publik akan jatuh hati dalam pilpres 8 Juli 2009.

Caranya? Tampil dan pertontonkan chauvinisme dalam kata dan laku tindak politik, ekonomi dan sosial. Kalau anak semata wayangdarichauvinismedisebut sebagai "shallow ecology", yang mendasarkan etika lingkungan dalamkelangsungan hidup dan martabat kemanusiaan, maka yang revolusioner dalam debat capres justru ada dari mereka yang bersuara mengenai hormat kepada kehidupan. Filsuf Albert Schweitzer menyebutnya sebagai vitalisme.

Musuh vitalisme justru dogmatisme. Capres yang mengusung dogmatisme bakal menuai semata prasangka. Prasangka semata mengebiri kebebasan. Dogmatisme membuat orang takut berpikir berbeda dari sistem pengetahuan yang berlaku.

Orang menjadi tidak dewasa karena didikte dan menganut opini tanpa penelitian rasional. Ajang debat capres mendewasakan publik, karena membebaskan publik dari segala prasangka. Ajang debat membuat publik kian kritis.

Karena itu, bersikap kritis berarti berani berpikir sendiri. Capres yang kritis dalam debat putaran terakhir ini akan beroleh hormat dari publik. Bukankah "prasangka" dalam istilah Marxis disebut sebagai "kesadaran palsu"? Tampil tanpa "tedheng aling-aling", nyerempet norak dan kampungan justru mencitrakan 'yang revolusioner" dalam debatcapres.

Buatlah publik tertawa terbahak-bahak, karena di sana mereka akan menemukan dirinya terpecah. Publik tertawa karena merasakan tiba-tiba kenyataan yang dihadapi terpecah. Segala unsur tidak sama dan sebangun lagi, ketika seseorang tertawa. Bukankah fatsun dalam kampanye, mencintai sesama kendati ada perbedaan?

Beranilah berpikir sendiri (sapere aude).(*)

Oleh Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2009