Jakarta (ANTARA News) - Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho mengatakan, Undang-Undang Kehutanan lemah bila digunakan untuk menjerat para pelaku pembalakan liar.

Hal itu dapat dilihat dari fakta di lapangan bahwa masih banyak pembalak yang divonis bebas, kata Emerson, dalam diskusi tentang pembalakan liar di Jakarta, Kamis.

"Sebagian besar dari kasus `illegal logging` yang divonis bebas hanya menggunakan UU Kehutanan," ia menjelskan.

Menurut dia, kelemahan dalam UU Kehutanan antara lain terdapat dalam Pasal 80 ayat (2) yang hanya memberikan sanksi adminstratif dan denda bagi pembalak liar di tingkat "mastermind" (pelaku utama).

Selain itu, kelemahan lainnya dalam UU tersebut adalah tidak ada definisi yang jelas tentang pembalakan liar, tidak ada sanksi minimum, dan tidak menjangkai kejahatan korporasi.

Emerson juga menyesalkan perspektif Departemen Kehutanan dan petugas aparat hukum masih melihat segala sesuatu yang berhubungan dengan hutan hanya bisa dijerat UU Kesehatan yang diyakini bersifat "lex specialis" (khusus) dibanding UU lainnya.

Ia berpendapat, para pelaku pembalak liar akan lebih efektif bila dijerat sekaligus dengan pasal UU Tindak Pidana Korupsi dan UU Pencucian Uang.

Jika dijerat dengan UU Korupsi, ujar Emerson, maka ancaman pidana lebih berat dan kasusnya dapat diambil alih Komisi Pemberantasan Korupsi.

ICW merekomendasikan antara lain agar UU Kehutanan direvisi atau dibuat lagi undang-undang khusus tentang pemberantasan pembalakan liar.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Teten Masduki mengatakan, pembalakan liar didorong oleh dua hal, yaitu korupsi dan buruknya manajemen pengelolaan hutan di Tanah Air.

Untuk itu, ujar Teten, elemen kelompok masyarakat sipil seperti LSM harus digiatkan dalam memantau pembalakan liar untuk memastikan bahwa sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) diimplementasikan dengan baik.

Sedangkan pembicara lainnya, Direktur Program Multistakeholders Forestry Programme (MFP) Diah Y Raharjo mengemukakan, SVLK diproses melalui forum berbagai pihak sejak adanya kemauan politik pemerintah membangun kebijakan legalitas kayu sebagai instrumen "Good Forestry Government".

Kini, ujar Diah, proses SVLK kini memasuki tahap kritis yaitu impelementasi yang kredibel dan transparan.

Untuk itulah, lanjutnya, maka MFP dan TII telah menandatangani nota kesepahaman (MoU) untuk melakukan aksi bersama pengawalan dan pemantauan proses penerapan SVLK.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009