Jakarta (ANTARA News) - Kejaksaan Agung (Kejagung) akan melakukan audit sendiri kasus dugaan korupsi pembangunan alat pengering gabah (drying center) Bank Bukopin yang merugikan keuangan negara Rp76,3 miliar.

Hal tersebut terkait dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak bisa mengaudit kerugian negara kasus tersebut, karena pemerintah bukan pemilik saham mayoritas di Bukopin.

"Solusinya kita menghitung sendiri untuk kerugian kasus itu, karena uang (kerugian) bisa analisis," kata Direktur Penyidikan (Dirdik) pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus), Arminsyah, di Jakarta, Minggu.

Kejagung pada Agustus 2008, telah menetapkan 11 tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi atas pemberian fasilitas kredit oleh Bank Bukopin kepada PT Agung Pratama Lestari (APL) yang menimbulkan kerugian sebesar Rp76,3 miliar.

Ke-11 tersangka itu, dari Bank Bukopin sebanyak 10 orang, yakni ZK dkk, dan satu orang Kuasa Direktur PT APL, GN, dan penyidikannya terhambat karena kejaksaan meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mengaudit besaran kerugian negara yang ditimbulkan akibat tindak pidana korupsi tersebut.

Arminsyah menyatakan, BPK mengacu kepada UU BUMN hingga tidak bisa mengaudit kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi tersebut.

"Pemerintah saat kejadian itu, memiliki saham sebesar 21 persen dan saat ini 18 persen, hingga tidak bisa diaudit oleh BPK," katanya.

Persoalannya, kata dia, penggunaan uang di Bank Bukopin itu menyimpang. "Kalau pemerintah punya saham di sana (Bukopin) tentunya merugi juga," katanya.

"Kita penasaran dengan ini (BPK tidak bisa mengaudit). Kita akan mendalami lagi," katanya.

Kasus itu bermula pada 2004 ketika Direksi PT Bank Bukopin telah memberikan fasilitas kredit kepada PT APL sebesar Rp62,8 miliar.

Kredit itu untuk membiayai pembangunan alat pengering gabah (drying center) pada Divre Bulog Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, NTB, dan Sulsel sebanyak 45 unit.

Namun fasilitas kredit yang diterima tersangka GN (PT APL) ternyata dipergunakan tidak sesuai dengan peruntukannya.

Tidak sesuai peruntukannya itu yakni mesin yang harus dibeli adalah merek Global Gea (buatan Taiwan) namun dalam kenyataannya mesin yang dibeli merek Sincui, kemudian ditempeli merk Global Gea.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009