Sumenep (ANTARA News) - Keluarga RF di Sumenep, Madura, Jawa Timur, pasrah dan berusaha tegar menghadapi kasus yang menimpa Aris Makruf alias Aris, salah seorang yang masuk daftar pencarian orang (DPO) kasus terorisme dan telah menyerahkan diri pada polisi pada Jumat (2/10) pekan lalu.

Aris, warga Jalan Payudan Barat 3 Sumenep, itu menyerahkan diri pada Kepala Kepolisian Resor (Kapolres) Temanggung, Jawa Tengah, AKBP Zahdi, dan langsung diantar ke Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Tengah.

RF yang dinikahi Aris pada bulan Juli 2009 itu, merasa tidak ada yang aneh pada kehidupan keseharian suaminya.

"Salah satu contohnya adalah pernikahan kami, yang mulai dari lamaran, akad nikah, hingga resepsi pernikahan dilakukan secara terbuka dan dihadiri banyak orang. Bahkan, resepsi dilakukan di sebuah gedung pertemuan di Sumenep," katanya di Sumenep, Jumat (9/10).

Karena itu, kata RF yang menjadi guru di lembaga pendidikan milik Yayasan Salsabila yang beralamat di Jalan Payudan Barat Nomor 3 Sumenep tersebut, sangat kaget, ketika suaminya, Aris, ternyata terkait kasus terorisme.

"Jangankan saya dan keluarga, Aris saja terkejut dirinya ternyata menjadi DPO polisi terkait kasus terorisme," katanya mengungkapkan.

RF yakin suaminya tidak bermasalah, karena jikalau bermasalah, tentunya akan melakukan segala sesuatu dengan cara tersembunyi, termasuk ketika akan menikah.

Ketika RF sedang diwawancarai, orang tua RF sempat duduk bersama dan menceritakan awal perkenalannya dengan Aris.

"Teman-teman, ini bapak saya. Namun, tolong nama maupun inisialnya tidak usah ditulis. Cukup inisial saya saja yang ditulis. Kalau sampai nama bapak ditulis, saya tidak rela semua apa yang saya bicarakan ini dijadikan berita. Tolong hormati keluarga saya," kata RF pada dua wartawan yang mewawancarainya, salah satunya wartawan ANTARA.

Sementara itu, orangtua RF menilai Aris adalah sosok yang sopan dan bertanggungjawab atas apa yang dilakukannya.

"Sejak pertama kali bertemu hingga menyerahkan diri ke polisi, saya belum melihat ada sesuatu yang aneh dengan Aris," katanya menegaskan.

Ketika beberapa kali terlihat bermain ke rumahnya untuk mengantarkan anaknya pada tahun 2008-2009, kata orangtua RF, pihaknya langsung menanyakan tindakan tersebut, baik pada RF maupun Aris.

"Setelah anak saya memberikan jawaban, Aris juga bicara dan siap melamar anak saya. Ketika saya minta harus menghadirkan orang tuanya ke Sumenep dalam proses lamaran hingga resepsi nikahnya, Aris juga melakukan hal itu. Semuanya berjalan tanpa ada sesuatu yang disembunyikan," katanya.

Ketika awal pertemuan dengan Aris, kata orang tua RF, pihaknya memang tidak terlalu rinci menanyakan asal-usulnya, karena sudah yakin dengan status Aris yang tercatat sebagai guru di lembaga pendidikan milik Yayasan Salsabila.

"Anak saya dan Aris itu satu kantor dan sama-sama mengajar di lembaga pendidikan milik Yayasan Salsabila. Saat itu, saya yakin tidak ada masalah," katanya menegaskan.

Buat Pernyataan
Sebelum menyerahkan diri pada Jumat pekan lalu, Aris sebagaimana diceritakan RF, sempat membuat surat pernyataan terkait keberadaannya di Sumenep sejak tahun 2006.

"Inti surat pernyataan itu adalah suami saya tidak disembunyikan oleh siapapun di Sumenep, tidak berhubungan dengan kelompok teroris manapun dan kapanpun, dan siap datang ke polisi untuk diselidiki dan disidik. Surat tersebut ditandatangi Aris di surat yang bermaterai," kata RF.

Ia juga menjelaskan, Aris baru tahu statusnya adalah DPO terkait kasus terorisme pada akhir bulan September 2009.

"Status dirinya yang DPO itu diberitahu oleh perangkat desa di Temanggung melalui telepon sekaligus meminta Aris segera menyerahkan diri," katanya.

Sebelumnya, kata RF, dua polisi datang ke rumahnya dan menanyakan surat keterangan asal-usul Aris.

"Saat itu, Aris sempat menanyakan pada dua polisi tersebut, apa ada sesuatu yang salah dengan dirinya, kok dalam beberapa hari itu selalu ditanya hal serupa oleh polisi dan perangkat Desa Pabian," katanya.

Aris sebagaimana diceritakan RF, baru sadar dirinya pantas ditanya ini dan itu oleh polisi, setelah ditelepon oleh perangkat desa di Temanggung yang menceritakan statusnya sebagai DPO terkait kasus terorisme.

"Untuk persoalan DPO, Aris tenang. Suami saya itu justru tertekan memikirkan keluarga di Sumenep dan keluarga besar Yayasan Salsabila yang dinilainya akan mendapat imbas dari persoalan yang menimpanya," katanya.

Karena itu pula, kata RF, Aris mantap untuk menyerahkan diri pada polisi, karena dinilai satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah.

"Melalui penyerahan dirinya, Aris ingin meluruskan sesuatu yang dinilainya bermasalah sekaligus bukti tidak ingin lari dari polisi. Aris tidak ingin melibatkan orang-orang yang memang tidak terlibat dengan persoalan yang menimpanya," katanya menegaskan.

Sebelum menyerahkan diri, Aris pamit langsung pada orang tua RF, dan sempat mencium kaki ibu RF.

"Aris memang menangis sambil meminta ibu menjaga saya. Setelah itu, saya mengantarkan Aris ke terminal bus. Aris berangkat sendiri ke Temanggung dengan naik bus pada Kamis (1/10) malam dan Jumat (2/10) malam menyerahkan diri," katanya mengungkapkan.

RF juga menjelaskan, sejak menyerahkan diri pada Kapolres Temanggung pada Jumat malam hingga Selasa (6/10), dirinya dan Aris sering melakukan komunikasi melalui telepon genggam.

"Pada hari Rabu (7/10), Aris mengaku sudah berada di Mabes Polri di Jakarta. Sejak itu hingga Jumat siang, saya dan Aris belum ada komunikasi lagi. Saat ini, kami hanya bisa pasrah dan harus tegar menghadapi persoalan ini. Semoga tidak terjadi apa-apa dengan Aris," katanya berharap.

Ekpos penyerahan diri Aris dilakukan langsung Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Nanan Soekarna di Jakarta, pada hari Sabtu (3/10).

Warga Jalan Payudan Barat No 3 Sumenep, itu diduga terlibat dalam kasus penyembunyian buronan tersangka terorisme yakni Jabir dan Mustaghfirin di rumah kontrakan, Kecamatan Gombong, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, sekitar Maret 2006.

Jabir dan Mustaghfirin adalah buronan kasus ledakan bom Kedubes Australia, Jakarta, tahun 2004.(*)

Oleh Slamet Hidayat
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009