Bogor (ANTARA News) - "Kebijakan Satu China (One China Policy)" hendaknya jangan dimaknai kaku oleh Indonesia antara lain dengan mencegah hubungan instansi pemerintah dengan pihak Taiwan, kata Direktur Program dan Riset The Habibie Center (THC) Dr. Dewi Fortuna Anwar.

"Sejumlah negara anggota ASEAN telah mengambil kebijakan luwes dengan membuka perwakilannya di Taiwan walau mereka seperti halnya Indonesia membuka hubungan diplomatik dengan China," kata Dewi kepada ANTARA di Bogor, Selasa.

Ia menyatakan hal itu di sela forum Dialog Indonesia-Taiwan yang diadakan THC dan Kantor Dagang dan Ekonomi Taiwan (TETO).

Sejauh ini kepentingan Taiwan di Indonesia diurus oleh TETO dan demikian pula Indonesia membuka kantor dengan tugas serupa di Taiwan.

Dewi mengatakan, China dan Taiwan terus mencari terobosan untuk menjalin hubungan ke arah yang lebih baik seperti ditandai dengan pertemuan pimpinan Kuomintang (KMT) yang berkuasa di Taiwan dan sejawatnya di Partai Komunis China (PKC).

Pada tahun 2005, Partai Progres Demokratik (DPP) yang berkuasa di Taiwan berniat menjadikan Taiwan sebagai negara merdeka. Manuver itu lalu memicu kemarahan China yang menganggap Taiwan sebagai salah satu provinsinya.

"Tahun 2008, KMT kembali naik ke tampuk kekuasaan dan hubungan Taiwan dan China berubah total dengan ditandai pertemuan puncak pemimpin partai dari Taiwan dan China," kata De-Wei Lee, salah seorang pengurus teras di KMT, yang mengikuti dialog itu.

Lee menambahkan kontak-kontak antarpengurus dari kedua partai tersebut di level bawah pun cukup intensif.

Menurut Dewi, Indonesia dapat mengubah sikapnya dalam berhubungan dengan Taiwan dan jangan takut akan protes China.

"Indonesia hendaknya melakukan perubahan dalam berhubungan dengan Taiwan walau keduanya tidak mempunyai hubungan diplomatik," ujar Dewi.

Dikatakannya, Taiwan yang mengakhiri sistem kediktatorannya pada tahun 1987 merupakan negara demokrasi yang sangat mendorong peran masyarakat madaninya.

Sebagai negara demokrasi, menurut dia, Indonesia dapat mengambil contoh dari apa yang dilakukan Taiwan dalam memajukan masyarakat madani.

Lebih jauh Dewi mengatakan THC mengambil langkah-langkah proaktif untuk meningkatkan interaksi antara masyarakat madani di kedua negara yang terkendala karena ketiadaan hubungan diplomatik.

THC memandang penting dialog yang diadakan bersama TETO pada 6-8 Desember 2009, dengan melibatkan berbagai perwakilan mulai akademisi, wartawan, aktivis LSM, peneliti dari Taiwan dan Indonesia, menyusul dialog antarpemimpin pemuda dari keduanya pada tahun 2007.

"Sejak lama kami menjalin kerja sama dengan TETO yang merasa kesulitan untuk memberikan bantuan kemanusiaan seperti terkait bencana alam," kata Dewi yang telah bergabung dengan THC sejak didirikan 10 tahun lalu.

Para peserta dialog membahas isu-isu politik, ekonomi, lingkungan hidup, keamanan, sosial dan budaya dan mereka berkomitmen untuk meningkatkan saling pengertian dan kerja sama di masa depan seperti dalam bidang pendidikan (riset dan penyediaan bea siswa) dan pertukaran kunjungan pemuda dan wartawan.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009