"Suraka, tuk mancur saka ndhuwur, kabeh umat bisa makmur, Gunung Mrapi kasuwur, ati tentrem wit ngaluhur, kamulyaning Pangeran, pancen nyata tumrap bangsa".

Reffrain tembang berjudul "Tuk Mancur" karya petani lereng barat Gunung Merapi, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Sibang, itu berkumandang berkali-kali saat ribuan umat Katolik setempat merayakan Natal melalui pemberkatan mata air, "Tuk Kethek", di wilayah Dusun Ngandong, Kecamatan Dukun.

Kira-kira bait lagu itu maksudnya mengajak manusia bersorak gembira karena mata air yang memancar dari tempat tinggi telah membuat semua umat manusia optimistis hidup makmur. Gunung Merapi yang tenar itu menenteramkan hati dan kemuliaan Allah memang nyata bagi bangsa.

"Tuk Kethek" adalah salah satu dari sejumlah mata air di dusun itu yang secara khusus mengalirkan air bersih melalui Kali Guwo untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat setempat. "Kethek" artinya kera.

Warga dusun itu berjumlah 36 kepala keluarga dan 124 jiwa. Hampir sebagian besar mereka hidup dari budi daya pertanian dan peternakan di kawasan yang berjarak sekitar delapan kilometer dari puncak Merapi (2.968 meter dari permukaan air laut).

Mendung menggantung saat ribuan umat yang datang tak hanya dari paroki itu tetapi juga dari Surabaya, Semarang, Yogyakarta, Solo, dan Jakarta itu pada Jumat (25/12), merayakan Natal Petani Merapi 2009 bertajuk "Caping Merapi Pangayomaning Bangsa" (Caping Merapi Pengayom Bangsa) yang dipimpin Romo Bernardus Singgih Guritno dengan didampingi Romo Vincentius Kirjito dan Romo Antonius Banu Kurnianto.

Para petugas prosesi dalam rangkaian misa kudus Natal itu mengenakan pakaian adat Jawa ala petani dengan tutup kepala, caping, sedangkan tiga romo "konselebran" mengenakan jubah dengan "stola" kepastoran masing-masing dan tutup kepala, "iket".

Belasan anak-anak dengan wajah dan tubuh berpoles properti mirip kera mementaskan performa binatang yang sering berada di sekitar "Tuk Kethek" itu.

Mereka tampak berteriak-teriak mirip suara kera, memanjat pepohonan seperti bambu dan pisang, serta melompat-lompat di sekitar mata air itu saat Romo Singgih memberkati tempat itu dengan dupa.

Dialog tentang manfaat air bagi makhluk hidup dilakukan empat orang yang mengenakan properti punakawan yakni Semar (Purwanto), Jayus (Gareng), Gino (Petruk), dan Bagong (Rudianto).

Pada kesempatan itu Romo Kirjito membaptis seorang umat asal Kota Semarang, Stevanus, dengan mengguyur air dari "Tuk Kethek" ke kepalanya.

"Berkah Allah itu bagaikan perjalanan air yang tiada putus. Sang Kristus memberi berkah untuk tanaman, alat-alat pertanian, dan ternak, terlebih air yang menjadi ibu, asal-usul dan sarana kehidupan," kata tokoh Semar dalam penggalan dialog dengan Gareng, Petruk, dan Bagong di tepi sumber air itu.

Para pelakon kera yang dipimpin kera putih dengan properti Anoman (tokoh wayang) tampak bertepuk tangan ketika Romo Singgih menyapa mereka dan mengungkapkan maksud kedatangan umat di "Tuk Kethek" yakni untuk menjalin kemitraan hidup itu.

Kepala Dusun Ngandong, Suratno (51), mengatakan, kera sering datang ke mata air itu secara bergerombol untuk minum dan mencari makanan dari pepohonan dan tanaman lainnya.

Setiap rombongan kera yang datang ke tempat itu berjumlah sekitar 50 ekor. Mereka sering makan jagung, palawija, sawi, dan terong di lahan milik petani yang dekat dengan mata air itu.

"Tetapi kami hanya mengusirnya saja, tidak memburu atau menembaknya. Mereka juga berhak hidup. Mereka biasanya bergegas meninggalkan tempat ini kalau ada orang yang datang," katanya.

Romo Singgih tampak mengambil air dari sumber itu dengan menggunakan alat dari batok kelapa, "siwur", lalu menuangkan ke dalam tempayan yang disebut "klenthing".

Sejumlah umat menggendong "klenthing" berisi air suci itu lalu bersama umat lainnya menjalani prosesi berjalan kaki melewati jalan setapak menuju Dusun Ngandong yang berjarak sekitar satu kilometer sambil melantunkan lagu-lagu natal berbahasa Jawa.

Sejumlah seniman petani setempat berpakaian tarian tradisional "Ndolalak" dengan tabuhan alat musik rebana, bedug, dan "kencreng" turut mengiringi prosesi tersebut.

Di sepanjang tepi kiri dan kanan jalur prosesi yang berupa jalan setapak di lereng-lereng pertanian holtikultura di kawasan itu tampak aneka properti dan tulisan karya para pemuda setempat yang intinya tentang ungkapan keprihatinan mereka atas jagat pertanian dewasa ini.

Sejumlah pemuda dengan sutradara seniman petani, Susanto, mementaskan teater pendek bertajuk "Bumiku Ibuku", seakan mengekspresikan libasan arus industrialisasi atas kearifan dunia pertanian.

"Tanah seringkali beralih fungsi demi uang yang kadang itu hanya untuk kepuasan sesaat. Tanah yang seharusnya menghasilkan pangan untuk kelangsungan hidup, demi uang, dieksploitasi dengan ditanami beton hotel, pertokoan, dan perumahan," kata Susanto yang juga petani holtikultura secara organik dari Dusun Grogol, Desa Mangunsuko, Kecamatan Dukun di kawasan Merapi itu.

Petani mengharapkan pemimpin yang arif atas pembangunan dunia pertanian, bagaikan air yang menyegarkan tanah gersang untuk menumbuhkan tanaman baru.

"Jika pengembangan pertanian dilakukan secara keliru, krisis pangan mengancam kehidupan," katanya.

Usai memberikan berkah dengan memercikkan air kepada berbagai alat pertanian dan bibit tanaman di halaman rumah warga Ngandong, Romo Singgih mengatakan, kalangan pemuda perlu mendapat dorongan dan dukungan secara memadai untuk mencintai pertanian dengan berbagai kearifannya.

"Tidak harus dengan menjadi petani, tetapi yang lebih utama, pemuda memiliki fondasi yang kuat atas cinta pertanian, sehingga mereka menghargai pertanian, tertarik mengelola, dan mengembangkan usaha pertanian yang berkelanjutan," katanya.

Penghormatan petani terhadap kera yang hingga saat ini masih relatif banyak hidup di kawasan Merapi bertetapan dengan Natal 2009 itu, katanya, menjadi lambang persaudaraan mereka dengan aneka binatang.

Terkadang, katanya, kera memang mengganggu tanaman milik petani.

"Semoga petani bisa menjalin persaudaraan dengan berbagai binatang, tidak saling bermusuhan, kera bukan dianggap sebagai hama tetapi menjadi bala bantuan dan mitra petani," katanya.

Ia mengatakan, suatu tempat yang relatif banyak kera tinggal biasanya subur dan menyimpan banyak potensi bahan makanan.

Sebutan "kethek", katanya, terkadang menjadi ungkapan manusia untuk menyepelekan dan merendahkan orang kecil.

Biasanya, katanya, kalangan petani dan orang desa disepelekan dan direndahkan sehingga ada di antara mereka yang merasa malu menjadi petani dan orang desa.

Mereka harus terus menerus berjuang keras untuk membangun martabat yang unggul sebagai petani, orang desa, dan orang gunung.

Hampir satu dasa warsa terakhir--setiap Natal, petani Merapi menggelar prosesi misa Natal khas mereka yang berdasarkan atas kearifan lokal dunianya itu untuk memancarkan berbagai pesan aktual terhadap peringatan kelahiran Yesus Kristus itu .

"Tidak ada manusia yang tidak berkepentingan dengan pertanian," kata petani setempat, Longgar (43).

Bagaikan kebutuhan manusia atas kelahiran Sang Juru Selamat, petani pun butuh aliran keselamatan yang tiada terputus atas pertaniannya.
(*)

Oleh Oleh M. Hari Atmoko
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2009