Jakarta (ANTARA News) - Pernyataan seorang pejabat di Departemen Kelautan dan Perikanan, belum lama ini, yang menyatakan bahwa Indonesia akan melarang ekspor rumput laut mulai tahun 2014, harus ditanggapi dengan kritis.

Sebagai orang yang bergelut dalam bidang penelitian dan pengembangan rumput laut, saya tidak paham latar belakang dan hitung-hitungan DKP hingga bisa mewacanakan masalah itu.

Mestinya kebijakan suatu Departemen harus bersandarkan pada evidence based, yaitu melalui studi sehingga kebijakan benar-benar dapat diimplementasikan. Apalagi kebijakan tersebut akan berkaitan dengan pembangunan bangsa dan kemiskinan masyarakat.

Tampaknya ini lebih pada persoalan jenis “Eucheuna cottonii”, yang produksinya sejak 2007 sudah menjadi terbesar di dunia yakni sekitar 110 ribu ton per tahun dan melewati produksi Filipina untuk jenis yang sama. Produk bahan baku tersebut diserap industri pengolah luar negeri sekitar 80%, sehingga harga lebih sering ditentukan oleh pembeli luar.

Hal itu berbeda dengan produk agar-agar dengan bahan baku “Gracilaria sp”, yang hampir 85% produk bahan baku itu diserap industri dalam negeri dan sekitar 70% produk agar-agar diserap pula di dalam negeri.

Mari kita hitung dengan cara konservatif saja. Bila pertumbuhan produksi “cottonii” Indonesia rata-rata meningkat 10.000 ton per tahun, dengan dasar produksi pada 2007, maka produksi “cottonii” pada 2014 akan menjadi sekitar 180 ribu ton. Bila 2009 industri pengolahan dalam negeri hanya mampu menyerap 20 ribu ton, pertanyaannya adalah, berapa pertumbuhan industri pengolahan akan dipicu sampai 2014? Pekerjaan sangat berat dan cenderung mustahil dengan persaingan internasional yang ketat.

Dari segi kapasitas, industri pengolahan dalam negeri pada 2014 belum mampu menyerap semua hasil budidaya. Malahan mungkin sejak mendengar Indonesia akan melarang ekspor, maka dari sekarang pembeli bahan baku dari luar akan siap-siap mengalihkan sumber bahan bakunya ke Malaysia, Vietnam, Thailand, Afsel, India dan negara kecil di Pasifik.

Anggota MARINALG, asosiasi prosesor dunia, pasti tidak akan segan-segan menggenjot produksi negara-negara tersebut di atas at any cost. Lalu dijual kemana produk bahan baku Indonesia?

Justru di sini juga masalahnya terjadi. Saat ini saja, hasil olahan “cottonii” hampir 90% diekspor dalam bentuk chips dan puder, baik untuk foodgrade maupun non-foodgrade.

Dengan keangkuhan kita tentang bahan baku, jangan-jangan mereka (industri pengguna hasil olahan luar negeri) siap-siap pula melarang produksi olahan industri Indonesia, dan di sisi lain daya serap industri makanan/minuman/kosmmetik dalam negeri tak akan mampu menyerap semua produk olahan kita. Lalu akan dikemanakan produk olahan kita?

Kalau kebijakan tersebut bersandarkan kepada evidence based, kebijakan yang disandarkan pada hasil studi yang benar maka, akan terlihat rasional. Pertanyaannya adalah, apakah kebijakan itu satu-satunya kebijakan yang terbaik?

Masih banyak yang bisa ditempuh dengan tidak perlu menarik perhatian dunia, tapi merugikan diri sendiri. Kalau kita tidak mampu mengelola, mengapa harus ngebom orang lain? Bukankah kebijakan kolaborasi lebih baik daripada monopoli?

Yang tidak rasional

Seperti dijelaskan di atas, dengan asumsi yang konservatif saja, yaitu ketika tahun 2014 produksi “cottonii” mencapai 180 ribu ton dan tanpa ekspor, dipastikan industri dalam negeri kesulitan menampung produk bahan baku tersebut.

Apalagi kabarnya pada tahun 2014, selain Ditjen P2HP akan melarang ekspor bahan baku, Dirjen Budidaya akan menargetkan produksi rumput laut kering menjadi satu juta ton per tahun. Artinya, bila tahun 2009 produksi bahan baku diperkirakan 130 ribu ton kering dan menjadi satu juta ton kering pada 2014, maka rata-rata kenaikan produksi bahan baku per tahun harus sebesar 174 ribu ton.

Sebagai catatan, sejak 2001sampai dengan 2007, kita mampu meningkatkan rata-rata produksi sebesar 10 ribu ton per tahun. Permasalahannya, upaya apa yang harus dilakukan untuk mencapai target sebesar itu, di sisi lain tidak ada dukungan riset untuk pengadaan bibit apalagi untuk pengadaan bibit unggul.

Malahan kita belum punya kebun bibit yang sebenar-benarnya “kebun bibit”. Hal lain sampai sekarang, secara nasional Indonesia belum pernah memiliki peta yang akurat (kesesuaian lahan), tentang wilayah perairan yang cocok untuk budidaya.

Katakanlah target budidaya tercapai 1 juta ton rumput laut kering pada tahun 2014 dan bila dikaitkan dengan kebijakan larangan ekspor pada tahun yang sama, maka artinya semua produksi budidaya harus terserap oleh industri pengolahan dalam negeri.

Lalu, coba hitung dengan kalkulator yang sederhana. Bila diasumsikan yield hasil olahan rata-rata 25%, maka sampai dengan tahun 2014 di Indonesia harus dibangun industri pengolahan rumput laut dengan total kapasitas produksi olahan sebesar 250 ribu ton.

Hal tersebut berarti bahwa mulai 2010 sampai dengan 2014 harus dibangun industri pengolahan dengan total kapasitas produksi sebesar 50 ribu ton per tahun. Apabila satu industri pengolahan berkapasitas produksi sebesar 2.500 ton per tahun, maka setiap tahun harus dibangun sebanyak 20 industri pengolahan. Suatu upaya yang menurut saya condong mustahil.

Pertanyaannya lagi adalah, akan dipasarkan ke mana hasil industri olahan kita? Mampukah industri makanan/minuman/obat-obatan dalam negeri menyerap produksi hasil olahan rumput laut sebanyak 50 ribu ton per tahun mulai 2010 dan harus mampu menyerap 250 ribu ton per tahun mulai tahun 2014?

Pernahkah dilakukan studi pasar mengenai kenaikan kebutuhan hasil olahan nasional dan internasional setiap tahunnya? Tampaknya para pengambil kebijakan di DKP harus menghitung dengan menggunakan kalkulator yang sama dengan petani dan para pelaku bisnis rumput laut.

Seperti disampaikan di atas bahwa kita belum memiliki yang benar-benar “kebun bibit”. Suatu “kebun bibit” pada awalnya harus dilakukan seleksi species (jenis), bahkan sampai pada tingkat strain atau varietas. Semestinya setiap species dan strain dalam “kebun bibit” tidak tercampur, dan benar-benar harus dipelihara sebagai sumber benih. Tapi kenyataan di lapangan tidak seperti itu.

Program “pembagian bibit”, saya tidak paham apakah ini program DKP, tapi untuk ini dapat saya kaitkan dengan pernyataan bahwa kita belum memiliki peta kesesuaian lahan yang akurat untuk lahan budidaya setiap jenis, sehingga yang terjadi di lapangan pembagian bibit di beberapa daerah tidak sustain karena lahan tidak sesuai dan tidak ada pendampingan teknis.

Untuk program “klaster”, mestinya disepakati terlebih dulu mengenai apa yang disebut sistem/konsep klaster. Klaster bukanlah aglomerasi satu jenis usaha, klaster bukanlah kumpulan sentra produksi satu jenis produk, klaster harus memiliki elemen-elemen bisnis yang saling bersinergi dengan masing-masing elemen bisnis harus memiliki mekanisme bisnis.

Karena itu, bila terdapat elemen bisnis industri pengolahan rumput laut di dalamnya, maka industri pengolahan tersebut harus memiliki skala ekonomi yang tepat.

Silakan sekarang perhatikan 4 program klaster tahun 2008-2009. Apa yang terjadi dengan program ini, sebut saja yang di Sumenep dan di Gorontalo? Karenanya saya sarankan, jangan paksakan program klaster yang baru, sebelum melakukan evaluasi secara komprehensif terlebih dahulu terhadap program klaster yang sudah berjalan.

Saya hanya khawatir, jerih payah yang telah diupayakan selama hampir 30 tahun menjadi sia-sia bagi bangsa ini, khususnya masyarakat wilayah pesisir.

Mestinya kita harus belajar dari pelarangan ekspor ikan tuna/cakalang dan ternyata industri dalam negeri hanya menambah penyerapan kecil sekali, yang pada akhirnya nelayan dan perusahaan penangkapan merugi.

Konon saat ini DKP sedang menyempurnakan kembali kebijakan tersebut dengan mencabut beberapa bagian dari kebijakan. Kita harus mau belajar dari program bantuan industri-industri skala kecil yang tidak ekonomis (paling tidak lihat di Bulukumba, Jeneponto, dan Bantaeng), yang sekarang ini mangkrak dan jadi rongsokan.

Ada program Gubernur di salah satu provinsi yang memberikan bantuan alat pengering, alat pencacah, dan alat grinding di sentra-sentra produksi, yang juga mangkrak sebelum digunakan, bahkan ada yang jadi rongsokan di pinggir jalan.

Oleh karena itu, supaya tidak buang-buang dana, hentikan dulu berbagai bantuan tanpa pendampingan yang jelas. Lakukan evaluasi secara komprehensif terhadap program-program Klaster, Kebun Bibit, dan Pembagian Bibit yang juga tanpa pendampingan teknis dan tanpa pendampingan untuk penguatan usaha.

Lakukan penguatan struktur industri rumput laut nasional dari hulu dan hilir daripada membuat kebijakan-kebijakan yang tidak rasional. Intinya dari semua itu, Departemen Kelautan dan Perikanan bersama para pemangku kepentingan harus membuat cetak biru atau strategi induk Pengembangan Industri Rumput Laut secara Berkelanjutan. (***)

*Ketua Indonesian Seaweed Society, International Advisory Council, Asia-Pacific Phycology Association, Deputi Kepala BPPT Bidang Teknologi Pengembangan Sumberdaya Alam.

Oleh Oleh DR Jana Tjahjana Anggadir
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009