Jayapura (ANTARA News) - Ketua II Pengurus Pusat Majelis Muslim Papua (MMP), Fadhal Alhamid, menyatakan bahwa KH Abdurrahman Wahid semasa hidupnya terutama ketika menjabat Presiden RI, telah memberikan perhatian besar terhadap permasalahan yang terjadi di Papua.

"Di era Gus Dur, kebebasan berkumpul, berserikat dan berekspresi diberikan seluas-luasnya, termasuk untuk rakyat Papua dalam hal menentukan identitasnya," kata Fadhal di Jayapura, Kamis.

Gus Dur, kata dia, merupakan tokoh nasional yang cukup memahami dan memperhatikan aspirasi rakyat Papua, yang terbukti dengan diberikannya izin dan bantuan untuk menyelenggarakan Konggres Rakyat Papua pada 2000 silam.

Melalui kegiatan tersebut lanjut dia, Gus Dur menunjukkan dirinya sebagai seorang yang pluralis sekaligus melindungi kelompok-kelompok minoritas yang selama ini terpinggirkan.

Selain itu, Gus Dur juga memberikan izin bagi rakyat Papua untuk mengibarkan bendera "Bintang Kejora" di samping "Merah Putih" sebagai sebuah simbol etnik dan identitas masyarakat di provinsi paling timur Indonesia ini yang dulunya bernama Irian Barat kemudian berganti menjadi Irian Jaya.

"Ini merupakan langkah berani dari Gus Dur dengan dasar penghargaan yang tinggi terhadap hak asasi masyarakat Papua untuk menentukan identitasnya sendiri yang belum pernah dilakukan tokoh nasional atau presiden Indonesia lainnya," tandas Fadhal.

Dengan sikap yang demikian, lanjut Fadhal, masyarakat Papua sungguh-sungguh merasa kehilangan serta berharap ada sosok nasional lain yang dapat menyamai karisma dan ketokohan Gus Dur, khususnya dalam memahami persoalan sosial dan politik yang terjadi di Papua.

Pada 31 Desember 1999, Gus Dur yang menyempatkan diri melewatkan pergantian tahun di Jayapura, Papua menyatakan mengembalikan nama "Papua" untuk mengganti "Irian Jaya" yang diberikan pada pemerintahan Presiden Soeharto.

Nama Papua disebutkan dalam Manifest yang dicetuskan Komite Nasional Papua yang menyatakan, "nama tanah kami menjadi PAPOEA BARAT dan nama bangsa kami menjadi PAPOEA."

Manifest tersebut ditulis dalam sebuah harian "Pengantara" pada 21 Oktober 1961.
(*)

Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2009