Jakarta (ANTARA News) - Mahkamah Konstitusi secara resmi menerima penarikan uji materi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Nomor 15 Tahun 2003 yang diajukan oleh Abu Jibril dan beberapa orang lainnya.

"Mengabulkan penarikan kembali permohonan pemohon (Abu Jibril, Umar Abduh, Haris Rusly, John Helmi Mempi, dan Hartsa Mashirul HR)," kata Ketua MK Moh Mahfud MD di Gedung MK di Jakarta, Senin.

Dengan demikian, MK juga menyatakan perkara uji materi Pasal 25 ayat (1), Pasal 26 ayat (1), Pasal 28, dan Pasal 46 UU 15/2003 tidak dapat diajukan kembali oleh pihak pemohon.

Perkara bernomor 150/PUU-VII/2009 itu sebenarnya telah melewati sidang panel pemeriksaan pendahuluan yang berlangsung pada 22 Desember 2009.

Namun, pada 20 Januari 2010, pihak MK telah menerima surat dari pemohon yang bernama Mohammad Iqbal bin Abdur Rahman (nama lengkap Abu Jibril) perihal penarikan kembali permohonan pengujian UU 15/2003.

Ketika itu, Panitera MK Zainal Arifin Hoesein mengemukakan, sesuai dengan Pasal 35 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi Nomor 24 Tahun 2003, pemohon dapat menarik kembali permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan.

Sedangkan dalam ayat (2) disebutkan, penarikan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan permohonan tidak dapat diajukan kembali.

Abu Jibril kepada wartawan setelah persidangan memaparkan, penarikan permohonan uji materi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme itu antara lain karena terdapat sejumlah pasal uji materi yang tidak dimasukkan oleh kuasa hukumnya yaitu Pasal 26 ayat (2), (3), dan (4) dari UU 15/2003.

Untuk itu, ayah dari tersangka kasus dugaan terorisme Muhammad Jibril itu akan menunjuk kuasa hukum baru dan berencana untuk mendaftarkan kembali uji materi UU 15/2003 dengan menggunakan dalil yang berbeda.

Sebelumnya, Abu Jibril dalam sejumlah kesempatan mengemukakan, pemberlakuan UU Pemberantasan Terorisme telah melanggar hak asasi manusia dan diskriminatif terhadap mereka yang masih berstatus tersangka dalam kasus terorisme.

Salah satu contoh diskriminatif tersebut, menurut Abu Jibril, adalah penggunaan data intelijen sebagai bukti awal untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka kasus terorisme seperti dalam Pasal 26 ayat (1).

Abu Jibril juga menyayangkan perlakuan aparat kepolisian terhadap anaknya, Muhammad Jibril, yang hingga kini masih ditahan dan kasusnya masih belum masuk ke pengadilan. (M040/A038)

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010