Jakarta (ANTARA News) - Niat Surya Paloh dan Sri Sultan Hamengku Buwono X membentuk sebuah gerakan perubahan bernama Nasional Demokrat tentulah tidak main-main. Kesungguhan itu bisa dilihat dari kerelaan berbagai pakar dan tokoh untuk menjadi pengurus organisasi itu.

Dalam pernyataan terbuka tentang pandangan organisasi itu, terbacalah niat mulia dibalik pendirian organisasi yang diminati figur seperti Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan, pengamat politik Eep Syaifulloh Fatah dan Direktur CSIS Rizal Sukma.

"Nasional Demokrat", yang diakronimkan menjadi "Nasdem" punya impian luhur.

"Kami mencitacitakan demokrasi Indonesia yang matang, yang menjadi tempat persandingan keberagaman dengan kesatuan, dinamika dengan ketertiban, kompetisi dengan persamaan, dan kebebasan dengan kesejahteraan. Kami mencitacitakan sebuah demokrasi berbasis warga negara yang kuat, yang terpanggil untuk merebut masa depan yang gemilang, dengan keringat dan tangan sendiri," demikian bunyi manifesto Nasdem.

Dari sisi visi dan misi, "Nasdem"-- yang bunyinya mengingatkan orang pada Fordem, akronim dari Forum Demokrasi yang dibidani (mendiang) Gus Dur-- tak mengidap kekurangan substansial yang pantas dikomentari atau dikritik.

Nah, problem justru muncul dari sisi linguistik.

Pilihan gramatika pada Nasional Demokrat, yang menempatkan kata sifat di depan kata benda, bukanlah teladan elok bagi pemakaian Bahasa Indonesia yang mengikuti konstruksi gramatikal "DM" (Diterangkan Menerangkan).

Menentukan sebuah nama dengan gramatika yang menyalahi aturan berbahasa bagi sebuah organisasi yang melibatkan kalangan intelektual, yang sebagian adalah para kolumnis piawai dalam pemakaian Bahasa Indonesia, tentulah bisa dikategorikan sebagai kekhilafan yang serius.

Nama itu telah tercatat dalam sejarah dan akan dibaca oleh generasi yang akan datang.


Keliru linguistik

Apa yang kurang afdol dengan pilihan tata kata "Demokrat Nasional", yang lebih pas dengan hukum berbahasa Indonesia yang dibangun lewat pergulatan linguistik berabad-abad?

Apakah dengan pilihan gramatikal itu akan menyebabkan bunyi akronimnya menjadi tidak sesuai dengan yang diharapkan, sehingga khalayak tak bisa diajak berasosiasi dengan "Fordem", yang punya riwayat cukup heroik itu?

Meski masih berupa spekulasi, "Fordem", betapapun amat minim kebermaknaannya, dianggap andil dalam mendorong lahirnya era reformasi 1998.

Tak kelirulah bila sejumlah orang punya kesan positif dan romantik terhadap "Fordem", tapi tentu, tak ada salahnya pula jika ada beberapa orang yang berhasrat menghidupkan kembali romantika itu dengan mencoba memilih akronim yang bunyinya sedekat mungkin dengan "Fordem", yakni "Nasdem".

Dengan memilih "Nasdem", sasaran untuk meletakkan organisasi itu agar sepantar dengan "Fordem" tercapai, setidaknya dalam hal bunyi-bunyian.

Tapi bagaimana dengan kalkulasi kerugiannya?

Pertama, para cendikiawan yang peduli dengan pemakaian bahasa Indonesia standard akan mencibir.  Mereka bisa berpikir secara kritis: bangaimana sebuah organisasi seserius itu diberi nama yang tidak patuh pada aturan bahasa yang digunakannya?

Kalau soal pemberian nama yang begitu fundamental itu bisa keliru, bagaimana dengan implementasi gagasan yang dikandungnya?

Amien Rais yang mendeklarasikan partai politik dengan nama "Partai Amanat Nasional", Gus Dur dengan "Partai Kebangkitan Bangsa" dan Susilo Bambang Yudhoyono dengan "Partai Demokrat" bebas dari kekeliruan linguistik.

Nama-nama partai politik itu mematuhi gramatika Bahasa Indonesia. Begitu juga para penggagas "Fordem", yang mungkin memukau penggagas "Nasdem".

Kerugian kedua bersifat dikdaktis, edukatif. Lahirnya "Nasdem" mengajarkan khalayak bahwa memberikan nama untuk sebuah organisasi tidak perlu mengikuti kaidah Bahasa Indonesia.

Bila "Nasdem" berhasil menjadi kekuatan sosial politik yang tangguh di masa depan, pengaruh kekeliruan linguistiknya juga akan membesar.

Khalayak masa kini maupun masa mendatang akan tidak segan-segan mengikuti konstruksi "MD", Menerangkan-Diterangkan, yang selaras dengan gramatika Inggris itu.


Bukan demokrat

Mari menengok sekilas pemilihan nama-nama organisasi dalam sejarah sosial politik Indonesia, setidaknya yang mengandung unsur kata "nasional".

Indonesia pernah memiliki "Partai Nasional Indonesia" (PNI). Dari sisi analisis kebahasaan, gramatika PNI tidak melabrak tata bahasa Indonesia.

Ajektiva "Nasional" di situ menerangkan nomina "Partai". Bahkan, andaikan unsur "nasional" itu diletakkan di belakang "Indonesia" sehingga menjadi "Partai Indonesia Nasional", kekeliruan linguistik pun tak terjadi. Sebab, "nasional" di situ menerangkan frasa nominal "Partai Indonesia".

Republik yang diproklamasikan Soekarno-Hatta ini juga pernah memiliki sebuah badan yang namanya mengandung unsur kata "nasional" bernama "Komite Nasional Indonesia Pusat" (KNIP).

Tak ada kesalahan gramatikal di situ, karena unsur ajektiva "Nasional" menerangkan nomina "Komite". Yang kurang pas dalam "KNIP" bukan pada unsur gramatikanya, tapi pemakaian nomina "Pusat" yang terasa berlebihan karena maknanya sudah dikandung secara implisit oleh unsur "Nasional".

Mungkin karena semangat kedaerahan di masa itu yang masih menggebu, perlulah kata "Pusat" itu diterakan.

Dalam kurun sejarah yang lebih muda, ada organisasi kepemudaan yang namanya memuat unsur ajektiva "Nasional", yakni "Komite Nasional Pemuda Indonesia" (KNPI). Organisasi yang didirikan pada 1973 ini juga bebas dari kesalahan gramatikal.

Surya Paloh, yang kini memimpin "Nasdem", jelas tak mau membuang-buang waktu untuk urusan bahasa, yang bukan bidang keahliannya.

Tapi publik terlanjur memiliki ingatan bahwa organisasi yang dipimpinnya itu telah diberi nama dengan kaidah salah dalam berbahasa Indonesia.

Hanya keajaiban yang bisa mengubah pikirannya bisa mengubah "Nasdem" menjadi "Demnas", yang sesuai dengan tata bahasa Indonesia.

Kesalahan linguistik itu sebetulnya juga mencerminkan sejauh mana nilai-nilai demokrasi menjiwai pendirian "Nasdem".

Jika demokrasi diterapkan secara menyeluruh, sebelum "Nasdem" dideklarasikan, mestinya ada forum perdebatan untuk menentukan apakah "Nasional Demokrat" sudah tepat dari segi konstruksi kebahasaan. Jangan-jangan, perdebatan linguistik itu tidak pernah ada.

Pengambil keputusan mengenai nama "Nasional Demokrat" itu, dengan demikian, ditempuh sekenanya oleh mereka yang tak pernah bergelut dengan pemakaian Bahasa Indonesia yang bebas dari cacat tata bahasa.

Tangan-tangan yang berkuasa, bukan yang ahli, yang menentukan. Nama "Nasional Demokrat", dalam pemilihannya, diputuskan oleh otokrat, bukan demokrat.

M020/T010

Oleh Mulyo Sunyoto
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010