Pekanbaru (ANTARA News) - Sejumlah LSM lingkungan di Riau akhirnya islah menyusul aksi boikot pemberitaan yang dilakukan jurnalis karena dinilai kurang mempedulikan nasib pemimpin adat tertinggi suku Talang Mamak, Patih Laman yang ingin menyelamatkan hutan adat.

Islah itu ditandai dengan digelarnya pertemuan LSM dan para jurnalis di Pekanbaru, Sabtu, dengan agenda membahas rencana Patih Laman mengembalikan Kalpataru sebagai bentuk protes terhadap pemerintah yang terus mengeluarkan izin pengelolaan hutan di hutan adat suku Talang Mamak.

"Kita mohon maaf dengan masalah yang lalu karena kami terkesan tidak peduli dengan Patih Laman yang ingin mengembalikan Kalpataru pada pemerintah," ujar Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), Susanto Kurniawan.

Dalam pertemuan yang juga dihadiri perwakilan Greenpeace, WWF, Khazanah Alam dan Budaya Tropis (Kabut) Riau, dan Walhi itu serta para jurnalis, Susanto mengatakan, pada dasarnya organisasi penggiat lingkungan itu setuju dengan rencana pemimpin adat suku asli di Riau itu.

Namun, perlu dipikirkan strategi pengembalian penghargaan atas jasanya dalam melestarikan lingkungan hidup di Indonesia itu karena bisa dipastikan baik pemerintah daerah atau pemerintah provinsi sebagai perwakilan pemerintah pusat akan menolak, ujarnya.

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara, Zulfahmi, menambahkan, pengembalian Kalpataru merupakan hal baru dan akan menjadi terapi kejut bagi pemerintah yang terus menerbitkan izin di hutan adat Talang Mamal.

"Sejak tahun 2006 kita telah mendorong terbitnya peraturan daerah hutan adat karena waktu itu dan hingga kini pemerintah tidak mengakui hak-hak suku asli, namun tidak terkawal," ujarnya.

Jurnalis dan aktivis LSM penggiat lingkungan lalu bersepakat meninjau langsung kerusakan hutan adat Talang Mamak seluas 1.904 hektare yang telah habis dibabat akhir 2007 dan beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit.

Sementara itu, pemerintah Kabupaten Indragiri Hulu telah mengalokasikan lahan bagi program transmigrasi perkebunan sawit di hutan adat Penyabungan dan Penguanan seluas 1.800 hektare yang telah rusak akibat penebangan dan perambahan.(*)
ANT/AR09

Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010