Kuala Lumpur (ANTARA News) - Indonesia sedang perjuangkan agar ada program pemutihan TKI (tenaga kerja ilegal) di Semenanjung Malaysia karena ternyata banyak sekali TKI yang ilegal, terutama di sektor konstruksi.

"Saya pernah datangi ke kongsi di Shah Alam. Di sana ada sekitar 5.000 TKI dan sebagian besar adalah ilegal. Dari pada dikejar-kejar oleh polisi, imigrasi dan Rela yang dapat menimbulkan pemerasan, kami usulkan kepada pemerintah Malaysia untuk melakukan program pemutihan," kata Dubes RI untuk Malaysia, Da`i Bachtiar, di Kuala Lumpur, Jumat.

Dalam acara dialog dengan masyarakat Indonesia dan peluncuran website KBRI yang baru, mantan Kapolri itu mengatakan, telah mengusulkan kepada menteri dalam negeri Malaysia untuk melakukan program pemutihan atau legalisasi bagi TKI ilegal di Semenanjung Malaysia.

"Jika dijawab tidak bisa karena dalam UU mereka tidak ada klausul pemutihan mengapa di negara bagian Sabah bisa dilakukan program pemutihan sekitar 200.000 TKI ilegal di sana," ungkap Da`i.

Program pemutihan atau yang dikenal dengan legalisasi pekerja Indonesia ilegal dengan memberikan paspor dan ijin kerja.

Da`i kemudian menceritakan, bagaimana perjuangannya di Sabah dari rencana melakukan operasi besar-besaran pekerja dan pendatang ilegal menjadi program pemutihan. "Ketika bertemu dengan menteri besar Sabah, saya mengatakan jangan operasi PATI (pendatang asing tanpa ijin) hanya dilakukan di jalan dan dalam kota. Mengapa tidak dilakukan juga di perkebunan kelapa sawit. Kami tahun 90 persen pekerja kelapa sawit adalah warga Indonesia dan sebagian besar ilegal," katanya.

"Mendengar tawaran itu, menteri besar Sabah terdiam. Para pengusaha perkebunan kemudian memprotes dan menekan pemerintah setempat agar tidak melakukan operasi pekerja ilegal karena akan membuat bangkrut usaha mereka. Mereka setuju agar dilakukan pemutihan," jelas Da`i.

Tapi, lanjut dia, pemutihan itu bukan seperti pola lama yang hanya memberikan paspor hijau kepada TKI. "Kami akan memberikan paspor hijau jika TKI itu sudah diuruskan ijin kerja, membayar levy, membayar asuransi dan membuat kontrak kerja maka baru kami bagikan paspor," katanya.

Karena perlu, negara bagian Sabah dan perusahaan perkebunan setuju dengan pola pemutihan seperti itu. Namun setahun kemudian program ini tersendat karena, para pengelola perkebunan merasa berat membayar levy sekitar 200.000 TKI ilegal karena nilainya mencapai ratusan juta ringgit. "Akhirnya negara bagian Sabah meringankan levy hingga 50 persen," ungkap Da`i.

Oleh sebab itu, pemerintah Indonesia atau KBRI kini tengah mengupayakan pula program pemutihan bagi TKI ilegal yang tinggal di Kuala Lumpur dan sekitarnya dimana jumlahnya cukup besar.(*)
(A029/R009)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010