Jakarta (ANTARA News) - Badan Pusat Statistik (BPS) belum lama ini mengumumkan Indonesia mengalami defisit perdagangan terbesar dengan China dalam lima bulan pertama tahun ini.

Defisit perdagangan Indonesia dengan China tersebut mencapai 2,11 miliar dolar AS, lebih tinggi dibandingkan defisit perdagangan Indonesia dengan negara lainnya.

Padahal pelaksanaan Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China (ACFTA), baru berjalan sekitar enam bulan sejak perjanjian itu diterapkan pada 1 Januari 2010.

Kepala BPS Rusman Heriawan di Jakarta Kamis (1/7) menyebut defisit perdagangan dengan China tersebut karena Indonesia banyak mengimpor barang konsumsi berupa tekstil dan produk tekstil (TPT), alas kaki, dan berbagai produk elektronika.

Penguasaan China atas defisit perdagangan Indonesia itu menandakan semakin derasnya impor produk negeri Tirai Bambu itu ke negeri ini.

Selain dengan China, Indonesia juga mengalami defisit perdagangan dengan Thailand sebesar 1,51 miliar dolar AS, Australia 738,1 juta dolar AS, dan Singapura sebesar 202,6 juta dolar AS.

"Namun secara total neraca perdagangan Indonesia tetap surplus 8,84 miliar dolar AS," ujar Rusman.

Defisit perdagangan dengan China tersebut mengukuhkan betapa kuatnya daya saing industri manufaktur negeri itu dibanding industri sejenis di Indonesia.

Promosi

Sementara itu ajang "World Expo" atau Pameran Dunia di Shanghai, China, sejak 1 Mei dan akan berakhir 31 Oktober 2010, Indonesia berupaya mendapat banyak manfaat dari kehadiran paviliun yang merepresentasi nusantara.

Seperti perumpamaan, sekali dayung, dua-tiga pulau terlampaui, pemerintah Indonesia tidak hanya menampilkan keragaman tradisi dan budaya, tapi juga memanfaatkan kehadirannya pada Pameran Dunia sebagai arena mempromosikan potensi ekonomi dan bisnis.

Hal itu terlihat pada forum bisnis yang digelar oleh pemerintah Indonesia pada awal Juni lalu, di paviliun Indonesia di Shanghai. Kala itu, Kepala BKPM Gita Wiryawan memimpin pertemuan bisnis dengan perusahaan China .

Direktur Paviliun Indonesia Widharma Raya Dipodiputro menyatakan pada saat itu sebanyak 30 perusahaan China datang untuk menjajaki peluang usaha di bidang infrastruktur, pertambangan, agribisnis, dan manufaktur.

"Gubernur Jawa Barat, Gubernur Riau, dan Wakil Gubernur Kalimantan Timur, juga hadir pada pertemuan itu, mempromosikan potensi investasi di wilayah masing-masing," ujar Widharma di sela-sela World Expo di Shanghai beberapa waktu lalu.

Ia mengatakan, pada kesempatan tersebut, para pengusaha China menanyakan tentang iklim investasi dan bisnis di Indonesia. Mereka masih mengeluhkan sulitnya perijinan, mempertanyakan penegakan hukum, dan kepastian peraturan.

"Pada waktu itu Kepala BKPM mengatakan bahwa saat ini sudah banyak perubahan di Indonesia. Indonesia juga telah menerapkan National Single Window (NSW) yang memudahkan (operasional) bisnis," kata Widharma yang sejak awal Mei berada di Shanghai.

Diakuinya, sebagian besar perusahaan China yang hadir lebih tertarik pada bisnis atau investasi di bidang infrastruktur terutama pembangkit listrik, di samping pelabuhan, serta sektor agribisnis.

Perusahaan besar di China yang hadir antara lain China State Grid, China Harbour, dan TBEA yang tertarik pada distribusi listrik.

Demikian pula dengan China Harbour. Menurut perwakilan Arta Graha Network di paviliun Indonesia, Lidwina Ong, pihaknya tengah menjajaki kerjasama membangun jembatan Selat Sunda dengan perusahan China itu.

Peluang


Kendati lebih banyak perusahaan China tertarik masuk ke bisnis infrastruktur di Indonesia, Wakil Direktur Paviliun Indonesia Pratito Soeharyo, meyakini masih terbuka harapan dan peluang bagi Indonesia menjadi tempat investasi manufaktur China.

"Saat ini upah buruh di China semakin mahal seiring dengan semakin konsumtifnya masyarakat negeri itu," ujar Tito sapaan Pratito.

Ia menjelaskan dengan adanya modernisasi di China, masyarakat negeri itu memiliki gaya hidup yang tinggi dan konsumtif, seiring daya beli yang menguat, akibat keterbukaan China terhadap investasi asing.

Kondisi itu, lanjut pejabat dari Kementerian Luar Negeri itu, mendorong permintaan upah buruh di China terus meningkat, terutama untuk industri padat karya seperti tekstil dan alas kaki.

"Mereka (para pengusaha China) memang tidak bilang (tertarik masuk ke sektor manufaktur) tapi mereka cari (negara) yang (upah) tenaga kerjanya lebih murah dengan basis pasar yang besar. Itu adalah peluang bagi Indonesia," ujar Tito meyakinkan.

Pemerintah China sendiri, menurut Tito, tengah mempersiapkan industri manufakturnya bergerak ke arah teknologi tinggi termasuk digitalisasi, sehingga industri padat karya teknologi rendah mulai didiamkan berjalan alami, sampai mati dengan sendirinya.

"Pengusaha China juga tertarik di sektor agribisnis. Mereka banyak tertarik dengan rumput laut dan sarang burung walet dari Indonesia. China merupakan pembeli terbesar sarang burung walet Indonesia, yang selama ini diimpor dari negara ketiga yaitu Malaysia dan Singapura," katanya.

Tito meyakini kendati sampai saat ini China masih lebih banyak menyatakan ketertarikannya di bidang infrastruktur dan pertambangan, namun peluang investasi di sektor industri manufaktur masih terbuka.

Setidaknya saat ini sudah ada beberapa perusahaan manufaktur China yang membuka pabrik di Indonesia baik melalui investasi langsung maupun patungan dengan perusahaan lokal Indonesia.

Hal itu terlihat dengan masuknya investasi dari beberapa merek otomotif China yang mengembangkan perakitan di Indonesia seperti Foton, Cherry, dan Geely.

Indonesia nampaknya masih terus mendamba kedatangan manufaktur China lainnya ke negeri ini, setidaknya untuk membuat perimbangan dari neraca perdagangan yang kian defisit di tengah pelaksanan ACFTA.

(T.R016/S026)

Oleh Oleh Risbiani Fardaniah
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2010