Sangat beralasan untuk merisaukan arah pembangunan nasional, sebab politik ekonomi yang diimplementasikan justru menutup peluang rakyat membangun kemandiriannya.

Pemerintah lebih sibuk dengan kegiatan meliberalisasi ekonomi, tetapi mengabaikan tujuan utama pembangunan nasional, yakni membangun manusia Indonesia. Demi liberalisasi, pemerintah bahkan sudah terlalu banyak menuntut pengorbanan dari rakyat.

Dalam beberapa tulisan dan serangkaian pernyataan terdahulu, saya mempertanyakan apa yang menjadi target strategis rezim ini ketika menolak memberikan harga energi yang murah kepada rakyat?

Saya juga berkali-kali mengkritisi ketidakpedulian pada upaya menurunkan bunga bank yang begitu mencekik. Bahkan saya juga mengimbau pemerintah untuk merancang kebijakan ekonomi yang memungkinkan terwujudnya biaya produksi yang efisien di semua sektor kegiatan ekonomi, baik perekonomian rakyat dalam skala UMKM maupun kegiatan produksi skala korporasi.

Saya juga pernah menekankan perlunya penguatan koordinasi desk Polhukam-desk Ekuin untuk memerangi faktor-faktor penyebab ekonomi biaya tinggi, seperti pungutan liar dan perilaku menyimpang para birokrat dalam memroses perizinan usaha swasta.

Berkali-kali saya angkat masalah itu, karena seperti kebanyakan anak bangsa lainnya, saya juga risau akan masa depan perekonomian Indonesia.

Intinya adalah kalau kinerja perekonomian negara dibiarkan terus melemah seperti sekarang, kita tak akan pernah berhasil mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Kalau sebagian besar rakyat tidak sejahtera karena kualitas pertumbuhan ekonomi yang buruk, itu bukti kegagalan membangun manusia Indonesia.

Saya bersyukur karena tidak sendirian dalam kerisauan itu. Para ekonom pun merefleksikan kerisauan serupa dalam forum Sarasehan Ekonom Senior-Ekonom Muda Indonesia di Hotel Dharmawangsa, Jakarta. yang diselenggarakan sebuah harian ibukota, baru-baru ini.

Sarasehan itu berkesimpulan, kondisi perekonomian nasional jangka panjang kian merisaukan. Program yang dijalankan dengan koordinasi yang buruk antarkementerian dan kepemimpinan yang lemah membuat ruh pembangunan untuk rakyat hilang. Jurang masyarakat kaya dan miskin pun melebar.

Saya bahkan sudah mengkhawatirkan masa depan ketahanan nasional. Jurang kaya-miskin kini sudah menganga. Kalau kita jadikan mobil barang mahal, hanya beberapa ratus ribu unit mobil baru yang bisa terjual per tahunnya. Fakta ini sudah lebih dari cukup untuk menggambarkan jurang kaya-miskin, mengacu pada jumlah penduduk yang di atas 200 juta jiwa.

Kemiskinan sudah demikian mendalam. Bayangkan, ada ibu yang terpaksa menjual balitanya hanya untuk menutup utang persalinannya di rumah sakit.

Ketika menyikapi keputusan pemerintah mengadopsi dan mengimplementasi kesepakatan Perdagangan Bebas China-ASEAN (CAFTA), saya tegaskan bahwa keputusan itu membahayakan masa depan ketahanan nasional, karena diambil ketika kita sama sekali belum siap berkompetisi dengan China.

Pilihan kebijakan paling strategis untuk menyikapi dan merespons setiap kesepakatan perdagangan bebas atau "Free Trade Agreement" (FTA) adalah revitalisasi sektor rill dan UMKM dalam negeri.

Jika sektor riil dan UMKM dibiarkan mati suri seperti sekarang, Indonesia hanya dijadikan pasar tujuan ekspor dan rakyat kita akan menjadi konsumen aneka produk manufaktur mitra FTA. Akibat paling mengerikan dari kecenderungan itu adalah rontoknya ketahanan ekonomi nasional.

Implementasi semua komitmen FTA, terutama CAFTA, menjadi identik merakit bom waktu jika tidak disertai penguatan kinerja sektor riil dan UMKM. Logikanya, produktivitas sektor swasta dalam negeri yang rendah otomatis mengeskalasi masalah pengangguran dan kemiskinan karena minimnya lapangan kerja. Gap kaya-miskin pada gilirannya akan memicu ledakan bom waktu dalam bentukrangkaian protes masalah sosial-ekonomi.

Pada saat itulah ketahanan nasional akan menghadapi ujian terberatnya, bukan karena ancaman dari luar, melainkan karena perut rakyat lapar.

Penetrasi produk manufaktur impor ke pasar dalam negeri sudah dirasakan sangat kuat. Dari peralatan dapur rumah tangga, mainan anak, alas kaki, TPT, telepon seluler hingga obat-obatan. Penetrasi produk impor otomatis bertambah kuat begitu semua FTA yang kita sepakati diimplementasikan. Belum lagi ekses yang muncul akibat kelemahan kita menangkal impor ilegal.

Lonjakan tajam produk impor ke pasar dalam beberapa tahun terakhir harus dimaknai sebagai persoalan strategis yang berkait langsung dengan ketahanan nasional, ketahanan ekonomi puluhan juta rakyat Indonesia yang menggeluti UMKM.

Jangan menyederhanakannya sekadar sebagai persoalan defisit-surplus neraca dagang dengan negara mitra dagang.

Apalagi kini ketergantungan kita pada bahan pangan impor sudah relatif tinggi. Nilai impor bahan pangan per tahunnya rata-rata Rp50 triliun lebih untuk pengadaan kedelai, susu, gandum hingga garam.

Bahkan untuk membuat sejumlah produk manufaktur seperti televisi, kulkas, AC, dan mesin cuci, kita masih harus mendatangkan banyak komponen impor. Kandungan komponen impor setiap produk itu terbilang besar, antara 20 hingga 40-an persen. Ini adalah fakta- fakta yang mengindikasikan rapuhnya ketahanan ekonomi kita.

Kewajiban negara dan pemerintah membangun manusia Indonesia seutuhnya sudah dicantumkan dalam konstitusi. Kewajiban itu bisa diwujudkan jika kinerja ekonomi negara kuat dan kompetitif. Kinerja ekonomi negara tak akan kuat jika pemerintah berasumsi bisa menjadi pemain tunggal. Sebaliknya, peran swasta dalam industri, perdagangan dan distrbusi harus dibuat dominan.

Karena itu, pemulihan sektor riil dan UMKM perlu dimaknai sebagai bagian dari strategi pembangunan manusia. Dalam keterbatasannya membangun diri, manusia butuh insentif dari negara. Insentif itu berupa kemauan dan kesungguhan pemerintah mewujudkan iklim berusaha yang kondusif. Jangan biarkan terjadinya ekonomi biaya tinggi, menyediakan infrastruktur yang memadai, mencukupi pasokan energi, dan menghilangkan disharmoni kebijakan pusat-daerah.

Dalam konteks membangun manusia Indonesia, modal kita sudah sangat besar. Beberapa tahun lalu, lebih dari 50 juta unit bisnis UMKM telah teridentifikasi. Jumlah ini menjelaskan bahwa manusia Indonesia sesungguhnya ulet dan militan membangun hakikat kemanusiaannya.

Dengan demikian, tidak benar jika dibuat anggapan bahwa rakyat Indonesia tidak bisa dibuat kompetitif. Pada dasarnya, seperti dikatakan dalam sejarah, bangsa kita mampu berkompetisi. Namun di era modern sekarang, akses bagi perekonomian rakyat untuk beradaptasi dengan globalisasi terasa kurang leluasa.

Sejak dasawarsa 80-an hingga kini, perekonomian rakyat terus menerus diselimuti masalah keterbatasan modal, manajemen, standar mutu hingga keterbatasan mendapat akses pasar.

Akibatnya, dari total unit bisnis UMKM itu tak sampai 30 persen yang hidup dan kompetitif. Sementara itu, utilisasi kapasitas terpasang industri manufaktur diperkirakan sudah di bawah 50 persen. Dampak ikutannya adalah anjloknya kemampuan sektor riil dan UMKM menyerap angkatan kerja. Peluang jutaan angkatan kerja terdidik untuk

membangun kemandiriannya nyaris tertutup.

Hingga hari ini, kita belum melihat tawaran solusi dari pemerintah untuk memulihkan kinerja swasta dan UMKM. Kita malah melihat otoritas moneter sibuk mengamankan sektor keuangan dan perbankan, sementara otoritas fiskal melulu fokus menjaga keseimbangan Anggaran pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Tidak salah memang, tetapi kedua otoritas itu tak boleh bersikap masa bodoh pada dunia usaha. Ketidakpedulian pada kinerja swasta pada gilirannya akan menimbulkan kerusakan ekonomi yang luar biasa.

Saat ini, para ekonom mencatat bahwa keterbatasan energi membuat investor lama sulit mengembangkan kapasitas produksi. Investor baru pun berpikir ulang mewujudkan rencana investasi mereka. Kondisi ini membuat "pro poor", "pro job", dan "pro growth" tinggal menjadi slogan.

Belum lagi faktor tingginya suku bunga kredit yang menjadi salah satu penghambat kegiatan investasi dan pemulihan kinerja sektor riil.

Upaya penciptaan lapangan kerja formal baru makin sulit terlaksana. Bahkan, dalam enam tahun terakhir lapangan kerja formal justru menciut, sehingga jutaan angkatan kerja lama dan baru harus masuk ke lapangan kerja informal. Dari 113,83 juta angkatan kerja per Agustus 2009, hanya 29,11 juta orang yang bekerja di sektor formal.

Maka, mendorong otoritas moneter dan otoritas fiskal untuk lebih peduli pada perkembangan kinerja sektor riil dan UMKM bukan mengada-ada.

Revitalisasi sektor riil dan UMKM harus dipayungi kehendak politik. Dimulai dengan menghilangkan faktor-faktor penyebab ekonomi biaya tinggi, penurunan suku bunga, membangun suasana kondusif, lugas dan konsisten menangkal impor ilegal (penyelundupan), dan konsisten mendorong rakyat menggunakan produk lokal.

Sebagai pelengkap semua langkah internal itu, dibuat program yang sistematis dan progresif bagi promosi produk ekspor dan upaya perluasan tujuan (pasar) ekspor.

Akhirnya, mengacu pada rangkaian kebijakan ekonomi yang telah diimplementasikan pemerintah, layak dimunculkan pertanyaan apakah semua kebijakan itu mendukung semangat membangun manusia Indonesia? Bukan usil, tapi sekadar ajakan introspeksi.



*) Anggota Komisi III DPR RI/Anggota Badan Anggaran DPR/Ketua Kadin Indonesia

Pewarta: Bambang Soesatyo*)
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010