Mogadishu (ANTARA News/AFP) - Empat prajurit Uganda yang bertugas untuk pasukan Uni Afrika (AU) di Somalia tewas Senin ketika gerilyawan garis keras menembakkan mortir ke salah satu pangkalan mereka, kata juru bicara pasukan itu.

Pasukan AU, yang melindungi pemerintah Somalia dari upaya penggulingan oleh kelompok gerilya Al-Shabaab, terlibat dalam bentrokan hebat sejak pekan lalu dengan militan yang meningkatkan serangan mereka itu.

"Sebuah mortir ditembakkan ke salah satu posisi kami dan serangan itu menewaskan empat prajurit dan melukai delapan orang," kata juru bicara pasukan itu Ba-Hoku Barigye kepada AFP.

Pasukan AU, yang berjumlah sekitar 6.000 prajurit Uganda dan Burundi, menjadi rintangan bagi Al-Shabaab untuk menguasai seluruh Mogadishu, ibukota Somalia yang dihancurkan oleh perang.

Bentrokan terakhir itu, yang telah membuat gerilyawan tersebut bergerak maju ke daerah-daerah yang dikuasai oleh pemerintah yang dilindungi oleh pasukan AU, mendorong Presiden Sharif Sheikh Ahmed segera menyerukan bantuan internasional pada Senin.

"Sangat tidak praktis mengharapkan Somalia sendirian mengendalikan aliansi jahat Al-Qaeda dan Al-Shabaab ketika Somalia sedang pulih dari kehancuran 20 tahun dan lingkungan politik yang kacau," kata Sharif dalam sebuah pernyataan.

Ia mengatakan, pemerintahnya tidak memperoleh dukungan internasional sebanyak yang diterima oleh Pakistan, Afghanistan dan Irak, meski mereka sedang menghadapi kekerasan yang hampir serupa.

Pada akhir pekan, enam warga sipil tewas ketika gerilyawan Al-Shabaab menyerang barak pemerintah di sekitar Sigale di daerah Hodan, Mogadishu.

Lebih dari 80 orang tewas dalam bentrokan-bentrokan sengit di Mogadishu dalam sepekan ini.

Nama Al-Shabaab mencuat setelah serangan mematikan di Kampala pada Juli lalu.

Para pejabat AS mengatakan, kelompok Al-Shabaab bisa menimbulkan ancaman global yang lebih luas.

Al-Shabaab, kelompok muslim garis keras yang menguasai sebagian besar wilayah tengah dan barat Somalia, mengklaim bertanggung jawab atas serangan di Kampala, ibukota Uganda, pada 11 Juli yang menewaskan 76 orang.

Pemboman itu merupakan serangan terburuk di Afrika timur sejak pemboman 1998 terhadap kedutaan besar AS di Nairobi dan Dar es Salaam yang diklaim oleh Al-Qaeda.

Serangan-serangan bom pada 11 Juli itu dilakukan di sebuah restoran dan sebuah tempat minum yang ramai di Kampala ketika orang sedang menyaksikan siaran final Piala Dunia di Afrika Selatan.

Pemimpin Al-Shabaab telah memperingatkan dalam pesan terekam pada Juli bahwa Uganda akan menghadapi pembalasan karena peranannya dalam membantu pemerintah sementara Somalia yang didukung Barat.

Uganda adalah negara pertama yang menempatkan pasukan di Somalia pada awal 2007 untuk misi Uni Afrika yang bertujuan melindungi pemerintah sementara dari Al-Shabaab dan sekutu mereka yang berhaluan keras di negara Tanduk Afrika tersebut.

Washington menyebut Al-Shabaab sebagai sebuah organisasi teroris yang memiliki hubungan dekat dengan jaringan al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden.

Milisi garis Al-Shabaab dan sekutunya, Hezb al-Islam, berusaha menggulingkan pemerintah Presiden Sharif Ahmed ketika mereka meluncurkan ofensif mematikan pada Mei tahun lalu.

Mereka menghadapi perlawanan sengit dari kelompok milisi pro-pemerintah yang menentang pemberlakuan hukum Islam yang ketat di wilayah Somalia tengah dan selatan yang mereka kuasai.

Al-Shabaab dan kelompok gerilya garis keras lain ingin memberlakukan hukum sharia yang ketat di Somalia dan juga telah melakukan eksekusi-eksekusi, pelemparan batu dan amputasi di wilayah selatan dan tengah.

Somalia dilanda pergolakan kekuasaan dan anarkisme sejak panglima-panglima perang menggulingkan diktator militer Mohamed Siad Barre pada 1991. Penculikan, kekerasan mematikan dan perompakan melanda negara tersebut.

Sejak awal 2007, gerilyawan menggunakan taktik bergaya Irak, termasuk serangan-serangan bom dan pembunuhan pejabat, pekerja bantuan, intelektual dan prajurit Ethiopia.

Ribuan orang tewas dan sekitar satu juta orang hidup di tempat-tempat pengungsian di dalam negeri akibat konflik tersebut.

Pemerintah sementara telah menandatangani perjanjian perdamaian dengan sejumlah tokoh oposisi, namun kesepakatan itu ditolak oleh Al-Shabaab dan kelompok-kelompok lain oposisi yang berhaluan keras.

Gerilyawan muslim garis keras, yang meluncurkan ofensif sejak 7 Mei 2009 untuk menggulingkan pemerintah sementara dukungan PBB yang dipimpin oleh tokoh moderat Sharif Ahmed, meningkatkan serangan-serangan mereka.

Tiga pejabat penting tewas dalam beberapa hari sejak itu, yang mencakup seorang anggota parlemen, seorang komandan kepolisian Mogadishu dan seorang menteri yang terbunuh dalam serangan bom bunuh diri.

Selain pemberontakan berdarah, pemerintah Somalia juga menghadapi rangkaian perompakan di lepas pantai negara Tanduk Afrika itu. (M014/K004)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010