"turnamen ini merupakan kesempatan sempurna guna menunjukkan kepada dunia bahwa Eropa beradaptasi. Eropa masih hidup dan merayakan kehidupan. Eropa telah kembali."
Jakarta (ANTARA) - Piala Eropa itu bak Piala Dunia, bedanya turnamen ini dikhususkan untuk Eropa. Selama sebulan penuh, mulai 11 Juni nanti sampai 11 Juli, 51 pertandingan digelar di 11 kota di sebelas negara di benua itu.

Waktu pelaksanaan Euro 2020 yang seharusnya diadakan tahun lalu itu berbarengan dengan Copa America yang juga dimundurkan gara-gara pandemi persis pada tanggal, bulan dan tahun yang sama.

Namun Euro 2020 dipastikan lebih menarik ketimbang Copa America sekalipun seniman-seniman lapangan hijau Amerika mungkin lebih atraktif dalam mengolah bola.

Setelah apa yang disebut Presiden UEFA Aleksander Ceferin sebagai krisis terbesar dalam dunia sepakbola ketika Euro 2020 dimundurkan ke tahun ini, putaran final Euro pun akhirnya digelar masih dalam suasana pandemi mulai Jumat 11 Juni ketika Italia ditantang Turki di Roma.

Sejak turnamen ini diumumkan mundur ke tahun ini Maret tahun lalu, pandemi tetap menyelimuti Eropa, dan dunia. Tetapi UEFA, dan juga pemerintah-pemerintah Eropa, sudah bulat untuk jalan terus. Nyaris tak ada penentangan dari masyarakat Eropa, tidak seperti Olimpiade Tokyo yang belakangan ditolak oleh bagian terbesar rakyat Jepang.

Baca juga: Anggota Komite Olimpiade Jepang kecam penyelenggara Olimpiade Tokyo
Baca juga: Ribuan relawan Olimpiade dilaporkan mundur


Sekalipun begitu, tetap saja menyelenggarakan turnamen besar era pandemi adalah pertaruhan, paling tidak untuk UEFA.

Tapi jangan lupa, keputusan UEFA untuk jalan terus tidak diambil karena semata kepentingan sepakbola. Justru faktor luar sepakbola yang menyalakan tekad untuk jalan terus.

Grafik melandai nan nyaris stagnan pada kasus infeksi, vaksinasi COVID-19 yang ekspansif, dan kisah sukses dalam menuntaskan liga domestik tanpa menciptakan kasus infeksi baru, adalah pendorong besar tetap melangsungkan Piala Eropa 2020.

Oleh karena itu, lima tahun setelah Portugal mengatasi ketiadaan Cristiano Ronaldo karena cedera untuk mengalahkan Prancis dalam final edisi 2016 dan tiga tahun setelah Prancis menorehkan kisah hebat dalam Piala Dunia di Rusia, Eropa kini bersiap menggelar lagi Euro.

Pandemi memang masih mengancam, tetapi keyakinan bahwa Eropa sudah relatif menjinakkan pandemi sehingga lockdown dan pembatasan perjalanan serta berkerumun dikendurkan, malah kian kuat saja.

Dan Euro 2020 menarik manfaatnya hingga sebelas stadion penyelenggara Piala Eropa pun siap menyambut lagi suporter. Edisi ini adalah edisi spesial karena bertepatan dengan 60 tahun usia turnamen tersebut. UEFA telah memutuskan bahwa berbeda dari era-era lalu, turnamen kali ini diadakan di berbagai kota di berbagai negara Eropa.

Baca juga: Pakar kesehatan UEFA jamin Euro 2020 tetap Juni tahun ini
Baca juga: UEFA tegaskan tidak akan ubah format Piala Eropa 2020



Selanjutnya: Piala Eropa diyakini berlangsung aman Yakin aman

Awalnya ada 13 kota yang masuk daftar tuan rumah Euro 2020 sebelum Brussels dicoret dan sebelum pandemi merusak semua wacana.

Kemudian April lalu, Dublin dan Bilbao juga dicoret karena baik pemerintah Irlandia maupun pemerintah daerah Basque di Spanyol di mana Bilbao berada enggan memberikan lampu hijau untuk hadirnya penonton dalam stadion. Sevilla lalu menggantikan Bilbao, sedangkan semua pertandingan yang tadinya dijadwalkan di Dublin dipindahkan ke London dan Saint-Petersburg.

Sevilla, London, dan Saint Petersburg sudah memberi lampu hijau untuk hadirnya penonton dalam stadion. Demikian juga Amsterdam, Baku, Bucharest, Budapest, Kopenhagen, Glasgow, Roma dan Muenchen walaupun kota di Jerman ini hanya membolehkan sekitar 14.500 penonton boleh masuk stadion Allianz Arena ketika kota-kota lain berani membolehkan 25 sampai 100 persen dari kapasitas normal stadion.

UEFA sendiri bersikeras Euro 2020 mesti disaksikan langsung penonton di dalam stadion sekalipun ditentang sejumlah pemerintah di Eropa, selain dihadapkan kepada situasi kesehatan yang berbeda-beda antara satu wilayah, khususnya karena kekhawatiran terhadap varian baru yang lebih menular.

Aleksander Ceferin bahkan yakin sekali Euro 2020 aman. Dia bilang, "turnamen ini merupakan kesempatan sempurna guna menunjukkan kepada dunia bahwa Eropa beradaptasi. Eropa masih hidup dan merayakan kehidupan. Eropa telah kembali."

Ternyata ada aspek politiknya juga. Tapi tak apa, lagi pula mustahil murni semata olahraga. Masih sangat wajar, semua orang melakukan seperti diucapkan Ceferin.

Tapi pertarungan UEFA tidak saja berkaitan dengan pandemi, namun juga mengenai kualitas pertandingan nanti.

Piala Eropa memang menjanjikan laga yang asyik untuk ditonton. Tetapi persoalan mendasar yang menjadi tantangan edisi ini adalah kelelahan yang dialami pemain setelah menyelesaikan musim yang rata-rata padat akibat diganggu pandemi. Kekhawatiran terjadinya cedera pun menjadi lebih besar dibandingkan era-era sebelumnya.

Hampir semua tim nasional hanya memiliki waktu singkat dalam meracik, menyempurnakan dan menyusun taktik akibat musim yang sibuk itu. Sampai-sampai jadwal praturnamen pun disusun pada menit-menit terakhir karena mesti menyesuaikan diri dengan jadwal kompetisi klub dan ketentuan lockdown serta pembatasan perjalanan di berbagai tempat dalam upaya membendung COVID-19.

Para pelatih dipaksa berpikir keras menyusun skuad yang siap untuk Euro 2020, dalam tempo yang begitu singkat. Akibatnya jangan berharap bakal muncul sepakbola indah. Sebaliknya, mengutip Associated Press, pragmatisme demi menjuarai turnamen yang mungkin paling menggejala.

Jonathan Wilson, pengarang "Inverting The Pyramid: The History of Football Tactics", beranggapan "Yang Anda saksikan pada level internasional adalah, karena terpaksa, menjadi jauh lebih sederhana dibandingkan dengan sepakbola tingkat klub."

Dan dalam hal memainkan sepakbola 'sederhana' Prancis, sang juara bertahan Piala Dunia, adalah jagonya. Negara ini adalah contoh sempurna untuk "kesederhanaan" taktis dan pragmatisme sepakbola modern seperti disebut Wilson.

Di Rusia tiga tahun silam, Prancis rata-rata menguasai distribusi bola 48 persen, tim ke-25 dari 32 tim peserta yang tidak begitu sering mendekati area penalti lawan, menjadi tim dengan jumlah mengumpan paling sedikit kelima, paling rendah kelima dalam soal menjelajah lapangan, dan memiliki rata-rata enam tendangan ke arah gawang per pertandingan yang merupakan terendah kedua selama turnamen itu.

Intinya Prancis bertahan dengan rapat, menyerang begitu waktunya tepat, dan klinis dalam menuntaskan penyelesaian akhir. Mereka juga jago dalam soal set piece. Gol-gol sundulan dari bek tengah mereka menjadi penentu kemenangan mereka pada perempatfinal dan semifinal Piala Dunia lalu.

Pragmatisme dan efisiensi namun dibarengi limpahan bakat luar biasa hebat seperti Kylian Mbappe dan N’Golo Kante, adalah kunci Prancis menjadi juara dunia. Mungkin atas alasan ini pula Prancis bakal sulit dihentikan pada Euro 2020.

Baca juga: Delapan kota tuan rumah Euro 2020 perbolehkan kehadiran penonton
Baca juga: Italia gelar Piala Eropa 2020 dengan 25 persen penonton di stadion



Selanjutnya: Pola permainan jadi benchmark
Bisa jadi benchmark

Tim-tim lain yang mungkin masuk definisi "sederhana" dan efisien yang fokus kepada hasil dan solid dalam bertahan adalah Denmark dan Italia.

Di bawah kepelatihan Roberto Mancini, Italia memasuki Euro 2020 dengan rapor biru sekali karena tak terkalahkan dalam 26 lagan dan hanya kebobolan empat gol selama kualifikasi.

"Anda tak akan menjuarai sepakbola internasional hanya dengan menyerang," kata Wilson seperti dikutip Associated Press. Sebaliknya, kata dia, permainan yang terus mengurung menjadi jaminan kompetisi sepakbola dimenangkan.

Analisis ini sejalan dengan apa yang tampak pada Liga Champions musim ini ketika tim-tim bercatatan dua terbaik dalam menjaga pertahanan, yakni Chelsea dan Manchester City, mencapai final di bawah bimbingan pelatih-pelatih inovatif yang mengadaptasikan taktik mereka menjadi pendekatan yang lebih hati-hati ala era pandemi ini.

Tekanan energi tinggi umumnya sia-sia selama musim yang padat dan diperkirakan tak akan terjadi pada Piala Eropa mengingat tim-tim berusaha mengelola pemain-pemainnya yang sudah kelelahan itu.

Dan nantikanlah aksi kiper-kiper yang hobi membantu serangan yang kini hampir semua tim memilikinya, dan bek-bek sayap yang berorientasi menyerang yang malah dilindungi oleh gelandang-gelandang berorientasi bertahan. Inggris contohnya. Negara ini sampai memasukkan empat bek kanan dalam skuad finalnya.

Dan tak ada formasi standard yang dipakai tim-tim unggulan. Belgia dan mungkin juga Inggris akan memainkan formasi tiga bek, Spanyol biasanya memasang formasi 4-2-3-1, Prancis setia dengan formasi diamond 4-4-2 yang kini kian maut oleh masuknya lagi Karim Benzema, sedangkan Italia, Belanda dan juara bertahan Portugal mungkin mengadopsi pola 4-3-3.

Penambahan jumlah anggota skuad yang biasanya 23 pemain menjadi 26 pemain adalah indikasi adanya hasrat mengurangi beban bertanding setelah pemain melewatkan musim kompetisi yang sangat padat dalam liganya masing-masing.

Hasil baik akan dipetik oleh tim-tim dengan sumber daya melimpah seperti Inggris dan khususnya Prancis yang memiliki skuad berkualitas merata pada semua sektor dan lapis skuadnya.

Oleh karena itu, Euro 2020 bukan saja pertaruhan UEFA yang bersikukuh menyelenggarakan turnamen ini di tengah pandemi yang masih mengungkung dunia, tetapi juga pertaruhan antara sepakbola menyerang yang lebih bisa dinikmati melawan sepakbola bertahan berorientasi hasil.

Di atas itu semua, jika segalanya lancar, UEFA akan bisa meletakkan fondasi dan acuan mengenai bagaimana seharusnya menyelenggarakan event besar di tengah pandemi, termasuk OIimpiade Tokyo bulan depan atau bahkan Piala Dunia Qatar tahun depan, andai pandemi belum sirna juga.

Baca juga: 14.000 orang dibolehkan masuk Allianz Arena tonton Euro 2020
Baca juga: Mengenal skuad empat tim Grup C Euro 2020
Baca juga: Gareth Southgate: Saya akan dianggap gagal bila tidak capai semifinal

Copyright © ANTARA 2021