Jakarta (ANTARA News) - Dalam ranah statistika, jika di antara 100 sampel terdapat satu sampel yang nilainya menyimpang jauh dari kelaziman, maka ia diistilahi sebagai outliers (pencilan). Sampel terpencil begini biasanya akan dikeluarkan dalam populasi, karena ia justru mengacaukan teori kenormalan.

Bagi penganut paham kualitatif, malah sampel pencilan seperti ini perlu mendapat porsi perhatian lebih dan ditelaah secara intensif lebih lanjut, demikian imbuh Asep Saefuddin, pengarang buku “Percikan Pemikiran Kepemimpinan dan Pendidikan” yang diluncurkan di Bogor 18 September 2010, terbitan IPB Press.

Buku ini berupa senarai ide yang diintisarikan dari pengalaman bergaul akademik dengan para cendekiawan baik selama menempuh pendidikan di IPB, jenjang pasca sarjana di Universite d’Orsay (Paris XI) Perancis (1992), maupun di University of Guelph, Kanada (1996).

Juga berinteraksi dengan para pakar statistika dunia melalui berbagai forum ilmiah selama berkarir sebagai dosen statistika di Departemen Statistika, IPB, seperti menghadiri even Premier Business Leadership Series yang dilakoni secara berkala oleh SAS Institute.

Selain itu Kang Axe, demikian beliau disapa oleh kolega semasanya, dalam dunia maya Linkers, juga pengagum berat buku internasional best seller Malcolm Gladwell yaitu The Tipping Point (2001), Blink (2006), Outliers (2008), dan The Team of Rivals (Sejarah Amerika).

Blink dan Outliers

Malcolm mengartikan blink sebagai suatu proses pengambilan keputusan secara sekejap dan cepat sekali. Tentu saja kecepatan ini harus mengindahkan unsur ketepatan. Don’t think, just blink, demikian istilah yang dilontarkan oleh Kang Axe dan mahasiswanya.

Kemampuan berfikir cepat mungkin sudah menjadi barang langka pada generasi muda saat ini, khususnya dalam urusan aritmatika. Hal ini berkorelasi dengan pengunaan kalkulator dan komputer yang sudah merambah hampir semua sudut kehidupan.

Blink yang merupakan the power of thinking without thinking, perlu terus diasah dalam kehidupan sehari-hari. “Biar lambat asal selamat” barangkali sudah kalah spirit dengan ungkapan “lebih cepat lebih baik”. Jikalau kita terus mengagungkan lambat dan selamat tersebut, maka niscaya, kita akan semakin jauh di buritan negara tetangga dalam segala sektor.

Tidak sepadan memang kalau kita berkomparasi dengan Jepang dan Jerman, dua negara kaya dan makmur, yang luluh lantak setelah perang dunia kedua. Namun hanya dalam hitungan jari tangan dan kaki, mereka bisa bangkit sebagai raksasa ekonomi dunia. Jepang dan Jerman masing-masing sebagai negara terkaya dan termakmur di Asia dan Eropa.

Kita tengok Malaysia yang merdeka tahun 1957. Dulu mereka merengek-rengek minta guru dari Indonesia, sekarang dunia pendidikan mereka telah membelakangi kita.

Petronas Malaysia sudah merambah mancanegara, sementara Pertamina mohon maaf masih jago kandang. Dalam bidang otomotif, kijang kotak yang dulu menjadi ikon awal mobil Indonesia, sudah disalip oleh Proton produk kebanggaan Malaysia, yang telah berpenetrasi ke pasar Eropa.

Perkebunan di Malaysia juga sepertinya lebih bisa menyerap tenaga kerja dengan renumerasi lebih memadai, dibandingkan perkebunan di tanah air, sehingga berbondong-bondonglah TKI mengadu nasib k esana.

Kita perlu generasi yang bisa blink dan berpredikat outliers. Malcolm menggambarkan orang outliers adalah mereka yang luar biasa mungkin extraordinary, yang disokong oleh variabel kuatnya individu dan faktor yang sengaja atau tidak memunculkan pencilan.

Karakter outliers ini bisa bermakna positif atau negatif. Outliers positif seperti orang-orang jenius, para inventor, para industriawan, para cendekiawan, para birokrat, dan profesi apa saja, yang selalu berusaha menggali hal baru, menimba ilmu, meningkatkan profesionalisme, selalu mendambakan dan dahaga prestasi, sehingga bermashlahat bagi khalayak, inilah yang perlu ditumbuhkembangkan secara sinambung.

Tak ada kesuksesan tanpa proses panjang dan berliku untuk meraihnya. Sering kita hanya terpesona pada produk dari kesuksesan, jarang mau meninjau bagaimana proses dari kesuksesan terealisasi.

Tengok bagaimana Michio Suzuki membangun gurita bisnisnya (1909). Beliau berujar, keberhasilan Suzuki hanyalah 10%, sedangkan 90% adalah kegagalan. Porsi kegagalan ini dimaknai sebagai jatuh bangunnya beliau sebelum menuai sukses saat ini.

Richard Branson di Inggris dengan kerajaan bisnis Virgin Atlantik, juga tidak sekejap mata menjadi raksasa bisnis. Richard beberapa kali pailit dan meringkuk di Hotel Prodeo akibat terlilit utang. Namun dia tak patah arang, bangkit dan bangkit lagi. Sehingga sekarang salah satu divisi bisnis Virgin Atlantik menawarkan suatu paket wisata ke ruang angkasa, luar biasa.

Teori Relativitas yang dikembangkan oleh Albert Einstein, juga bukanlah suatu proses pendek. Einstein ilmuwan tekun berbasis hobi terhadap fisika, menemukan teori tersebut setelah beliau bekerja di kantor paten.

Semasa kuliah Einstein diidentifikasi bukan sebagai mahasiswa brilliant. Dua kali dia testing universitas, baru berhasil mendapatkan bangku kuliah. Indek prestasi akademik pun tak terlalu cemerlang. Jadi bagi yang intelegensi dan daya nalarnya mungkin rendah, tak perlu berkecil hati, masih ada ketekunan dan kerajinan yang bisa menghantar ke dalam kelompok orang berkarakter outliers.

The Team of Rivals

Intinya adalah menjadikan lawan sebagai kawan, menjunjung kepentingan bangsa di atas kepentingan golongan. Budaya ini kiranya masih relatif sulit diadopsi oleh kebanyakan dari kita.

Sekali diputuskan oleh negara, sudah selayaknya kita sebagai anak bangsa patuh terhadap keputusan tersebut, mengesampingkan kekesalan sebelum keputusan itu ditetapkan, dan meminggirkan kepentingan golongan. Yang seyogyanya dilakukan adalah mengawal keputusan tersebut bukan terus menerus menolak.

Demikian sengitnya berbalas bahasa politik, ketika Barrack Obama dan Hilary Clinton memperebutkan calon presiden dari Partai Demokrat. Namun setelah Obama memenangkan pemilihan baik di internal partai maupun pemilu USA. Obama malah memuji Hilary dan menggandengnya sebagai kolega dalam kabinetnya.

Blink, outliers, dan membangun team of rivals, kiranya sangat relevan dikembangkan di negara kita untuk mengakselerasi segala kelambanan dan bahkan ke-mandeg-kan di segala lini kehidupan bangsa kita saat ini, semoga. (***)

*) Sekretaris Eksekutif PPLH IPB

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2010