Jakarta (ANTARA) - Seberapa dekat kita mengenal Betawi, masyarakat inti megapolitan Jakarta? Bagaimanakah mereka menjaga lingkungan, memelihara sumber air, menghemat energi, mendirikan rumah, pengobatan, dan memelihara kegotongroyongan?

Ada alternatif jitu dalam mengenal mereka yakni melalui studi terhadap folklor, yang merupakan serangkaian praktik yang menjadi sarana penyebaran berbagai tradisi budaya.

Mengintip folklor Betawi, paling tidak kita dapat menemukan, bahkan memahami rahasia titik temu antara manusia dengan segala kapasitas adiluhung yang dimilikinya dengan alam raya yang penuh rahasia.

Baca juga: Jelajah kuliner & budaya Betawi lewat tur virtual keliling ibu kota

Memang bentuk-bentuk kearifan Betawi, suku bangsa yang mendiami Ibu Kota Republik Indonesia, belum dibuka atau terbuka untuk diketahui oleh masyarakat umum dan kebanyakan masih bersifat tertutup sehingga perlu penelitian mendalam dari ahli humaniora.

Namun, upaya membuka kearifan Betawi tersebut menemukan titik cerah karena telah terbit buku berjudul Betawi Megapolitan, Merawat Jakarta Palang Pintu Indonesia karya Yahya Andi Saputra atau kerap dipanggil dengan Bang Yahya.

Bang Yahya adalah Magister Susastra Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia yang menjadi Ketua Asosiasi Tradisi Lisan DKI Jakarta dan pernah menjabat sebagai Sekretaris Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ 2015-2018).

Buku yang diterbitkan oleh Penerbit Pustaka Kaji, member of Lahyanto Network pada April 2021 tersebut mendapat sambutan hangat dari banyak pihak, salah satunya dari Direktur Eksekutif Gerakan Kebangkitan Betawi (Gerbang Betawi) Dr. H. Ashari.

Ashari yang sekarang memiliki kesibukan sebagai pengusaha properti itu menyebutkan bahwa buku Bang Yahya sesuai dengan visi Gerbang Betawi yang ingin membentuk masyarakat Betawi yang bermartabat, unggul dan ber-akhlakul karimah.

Folklor

Kadal laki buntutnya merah
Lagi lari kesangkut duri
Kenal diri faham sejarah
Agar tradisi terus lestari

Pantun tersebut tertulis pada kata pengantar buku yang disebut oleh penulisnya sebagai upaya untuk mendeskripsikan tradisi lisan Betawi.

Pantun adalah bagian kecil dari folklor lisan yang dikelompokkan erat bersama dengan cerita rakyat, puisi rakyat, teka-teki dan nyanyian rakyat.

Baca juga: "Rumah Ini Punya Siapa?", sastra Betawikah?

Baca juga: Kelinci Betawi di tengah pandemi


Kelompok lainnya adalah “partly verbal folklore” yakni adat istiadat tradisional yang diciptakan, disebarluaskan dan diwariskan dengan lisan dan tindakan. Termasuk dalam kelompok ini adalah kepercayaan, permainan rakyat, adat kebiasaan, tarian rakyat bahkan tahayul.

Pengelompokan berikutnya adalah “non-verbal folklore” meliputi arsitektur rakyat, kerajinan tangan, pakaian dan perhiasan tradisional, makanan dan minuman tradisional, bahasa isyarat dan musik rakyat.

Upaya penulis mendeskripsikan tradisi lisan Betawi tersebut dilatarbelakangi oleh keterlibatannya mendukung penelitian intensif tentang perkotaan bertajuk Megapolitan Project yang dilakukan oleh Lembaga Research Institute for Humanity and Nature (RIHN, Kyoto, Jepang).

Istilah megapolitan umumnya ditandai dengan jumlah penduduk yang sangat besar, jaringannya berskala nasional dan internasional dan dari sudut ruang menggambarkan keterkaitan antar berbagai kota secara individual bahkan penggabungan.

Salah satu kota yang menjadi lahan penelitian Megapolitan Project tersebut adalah Jakarta. Yahya, peraih penghargaan kebudayaan bidang pelestari 2015 dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI itu turut serta mengambil perannya.

Rupanya buku itu hanyalah sebagian kecil dari hasil penelitian Yahya yang meneropong apa dan siapa orang Betawi, penduduk lokal Jakarta, yang akan berulang tahun ke-494 pada 22 Juni 2021. Kita tentu menunggu karya berikutnya yang berisi dokumentasi lengkap hasil penelitiannya.

Posisi kearifan lokal

Buku ini cukup tebal, jumlah halamannya sebanyak 486+xviii, hitam putih dengan pilihan huruf tercetak cukup besar.

Buku ini didesain tidak bersifat teoritis dan tidak memuat alternatif solusi, namun masih menempatkan metodologi untuk mendekatkan pemahaman terhadap teks tradisi lisan tersebut.

Penulis menyebutkan bahwa karyanya ini mencoba memahami informasi kesejarahan dan kebudayaan etnik Betawi yang sepanjang hidupnya berada di kancah gelombang keragaman etnik, bangsa dan budaya (halaman 467).

Baca juga: Menjaga asa berkarya di tengah pandemi

Buku terbagi kedalam 10 bab yang diawali dengan pembahasan tentang iman. Selanjutnya Bagian 2 diberi judul Bebersih meliputi pembahasan tentang lingkungan asri, gotong royong, paketan, andilan, bersih lingkungan, tabunan, bungkus daun dan gotong royong kini.

Bagian 3 diberi judul Emak Bumi, pada Bagian 4 Asem Garem Makanan, Bagian 5 Merawat Sehat, Bagian 6 Mencari Penghidupan, Bagian 7 Kebon dan Sawah.

Bagian 8 Sabda Alam meliputi pembahasan tentang memahami alam, simbol hewan, kabar angin, kekuatan tumbuhan dan interaksi yang hilang.

Bagian 9 diberi judul Dunia Lain Atawa Alus, Gaib, Siluman. Bab ini berisi tentang pembahasan bahwa manusia dalam kekokohannya, kesaktian dan kelebihannya, menyimpan kerapuhan dan kelemahan.

Pada bagian ini juga dibahas tentang cara upacara Bertani, juga upacara Bebarik yang berasal dari Bahasa Arab Baraqah yang artinya berkah. Dengan menyelenggarakan Bebarik diharapkan kehidupan masyarakat senantiasa berkah, makmur dan sejahtera. Kini upacara tersebut sering disebut dengan istilah Sedekah Bumi atau Sedekah Kampung (halaman 367).

Bagian akhir diberi judul Ngempu Jakarta berisi sub judul Takdir Jakarta Berkah Indonesia, Lapis-lapis Betawi, Karakter Nasionalisme Betawi dan Ngempu dengan Hati.

Pada halaman 470 dituliskan: Ketika generasi muda Betawi belum tuntas menerima pewarisan, terjadi perubahan masyarakat yang ekstrem yang dipicu oleh kemajuan teknologi dan globalisasi utamanya tayangan televisi yang mempreteli kewibawaan kearifan lokal.

Paradigma tradisional versus modern pada gilirannya mengeliminasi tradisional dengan embel-embel kolot, norak, ketinggalan jaman dan kampungan.

Lebih jauh dijelaskan bahwa dalam banyak medan persinggungan, kearifan lokal tidak mendapat tempat dalam struktur hidup keseharian orang Betawi yang tergantikan dengan gaya hidup modernis hedonis.

Pada bagian akhir buku, Bang Yanya seolah menegaskan bahwa tantangan kian besar. Namanya warisan budaya, maka ini menguatkan beban budaya yang diemban ahli warsinya untuk berupaya mengaktualisasikannya.

Baca juga: Seni Topeng Betawi jadi sarana penyampai pesan pandemi yang menghibur

Baca juga: DKJ optimistis banyak karya musisi muda terinspirasi budaya Indonesia

Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2021