Jakarta (ANTARA News) - Asosiasi Akuntan meliputi Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) dan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) minta kepada pemerintah dan DPR-RI agar melibatkan mereka dalam pembahasan Rancangan Undang-undang Akuntan Publik (RUU AP).

"Kami harus ikut terlibat agar RUU tersebut nantinya dapat mengakomodasi kepentingan publik dan perkembangan profesi akuntan di Indonesia," kata Sekretaris Umum IAPI Tarko Sunaryo kepada wartawan di Jakarta, Selasa.

Pemerintah dan DPR sudah seharusnya membuat undang-undang yang mampu menunjang keberadaan Akuntan Publik di Indonesia yang selama ini belum dilakukan.

Menurut Tarko, kewenangan pemerintah yang terlalu besar, akan membuat akuntan publik tidak maju. Padahal di asosiasi profesi yang lain kewenangan yang jadi domain asosiasi profesi dijalankan oleh asosiasi profesi yang bersangkutan, misalnya dokter, notaris, dan pengacara.

Selama ini, kewenangan pengawasan, pembinaan, pemberian izin, dan pemberian sanksi mutlak dimiliki oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan. Padahal di asosiasi profesi yang lain, fungsi pemberian sanksi ada di pihak asosiasi profesi yang bersangkutan.

IAPI, lanjut Tarko, juga meminta agar DPR membuat UU yang mengatur praktik akuntan publik yang sehat dan independen.

"Bukan mengatur pemberian kewenangan kepada pemerintah. Selama ini kewenangan seperti pengawasan, pemberian izin praktek dan pemberian sanksi seharusnya dijalankan oleh asosiasi profesi.

"Kewenangan yang besar pemerintah terhadap profesi hanya akan membuat akuntan publik tidak independen," katanya.

Sementara itu, pakar hukum dari Universitas Sebelas Maret Surakarta Prof DR Jamal Wiwiko, SH M.Hum mengatakan bahwa pemerintah sudah seharusnya mengakomodasi asosiasi dalam penyusunan undang-undang.

Hal ini dikarenakan pihak asosiasi yang tahu mengenai mekanisme dan hal-hal teknis yang terkait dengan akuntan publik.

"Ini penting untuk mengakomodir kepentingan publik dan mengurangi kewenangan absolut pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan," katanya.

Mengenai ketentuan pidana yang ada dalam RUU AP itu, dia menilai bahwa selama tidak tumpang tindih dengan undang-undang lain tidak menjadi masalah.

"Asalkan hal-hal yang diatur dalam pidana umum tidak perlu lagi dimasukkan dalam UU tersebut," ujar Jamal.

Artinya, lanjut dia, bila terdapat sebuah tindakan yang dinilai merugikan kepentingan publik, harus dilihat dulu apakah sudah diatur dalam UU pidana atau tidak.

"Jangan langsung memberlakukan sanksi pidana, tapi harus dilihat dulu apakah masih bisa dikenakan sanksi administratif atau perdata. Dan apakah masih bisa dikenakan sanksi sesuai ketentuan asosiasi profesi," jelasnya.

Hal ini, kata dia, juga sudah diberlakukan pada profesi lain. Artinya, profesi yang bersangkutan harus mengacu kepada kode etik profesi dan bukan ke wilayah hukum publik.

Sementara pengajar Legislatif Drafting Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang Aan Eko Widiarto memaparkan, dalam RUU AP tersebut harus dipertegas mengenai peran profesi akuntan publik.

"Jangan sampai karena melanggar manual prosedur lantas menggunakan hukum publik," tegasnya.  (G001/K004)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010