Jakarta (ANTARA News) - Tabik kepada pengarang roman klasik Thomas Morus, karena dengan menulis Utopia, ia membangunkan tidur panjang publik semasanya.

Ia kemudian meneror akal manusia kontemporer bahwa kinclongnya rencana, ujung-ujungnya sampai kepada wilayah tidak bertuan bernama ide. Mimpi nih yee....

Utopia, artinya daerah atau tempat yang tidak pernah ada atau negeri entah berantah. Di dunia asmara, utopia dapat menggoda para gadis ketinggalan kereta yang menanti cemas-cemas harap lamaran dari Sang Pangeran untuk bersegera mengakhiri masa lajang.

Sang gadis ingin meneguk dahaga dengan mereguk tetes demi tetes madu kasih dari Dewi Amor. Di mata pujangga Ovidius, Amor sceleratus habendi (cinta itu bernoda keinginan untuk memiliki).

Lantaran dininabobokan mimpi memiliki, sang gadis kelewat optimistis dengan arah jarum jam masa depan bersama pria pujaan hati.

Ia menulis, "Aku ingin berubah dan kini berubah lantaran tahun 2011, aku ingin menikah dengan seorang pria. Dia cinta pertamaku".

Dan ujaran Betawinya, "Baek-baek dengan orang lagi indehoy. Tahi kucing bisa berasa coklat." Rupanya sang gadis melupakan ujaran Latin, Amor gignit amorem (cinta itu melahirkan lagi sebuah cinta). Jadinya, mabok kepayang ketika merayakan utopia 2011.

Ketika menjelaskan utopia, filsuf Ernst Bloch menyebut bahwa manusia kini dan di sini ujung-ujungnya "makhluk yang berkekurangan", yang berziarah demi memenuhi dahaga dengan mencari sumber air di oase kehidupan.

Manusia bagaikan bayi yang mencari puting susu buah dada ibunya agar bisa memenuhi dahaga. Sejoli saling mencari untuk saling menemukan.

Sebagaimana layaknya gadis ting-ting, ia terus mencari perjaka ting-ting agar keduanya kelak bersama duduk di pelaminan. Baik mempelai pria maupun mempelai perempuan sama-sama menampilkan sosok "manusia yang masih tersembunyi" (homo absconditus), meski keduanya berulangkali berujar, "aku mengenal dia, dan dia mengenal aku".

Kenyataannya, manusia adalah makhluk serba berkekurangan karena memanggul ambisi, mengangkut pencarian dan membidik hasrat kerinduan (desiderium). Tragika ketika merayakan utopia.

Ilustrasi di jagad percintaan seakan cermin dari jagad ekonomi dan jagad politik. Bukankah sirkus ekonomi dan sirkus politik mengulangi petualangan demi petualangan sarat kisah kepahlawanan sosok Winnetou karya Karl May? Dalam kebatilan ada kemenangan. Dalam putus cinta, kerap ada cinta sejati.

Ikut saja warta mengenai rencana pemerintah memasuki 2011. Pada 2013, pertumbuhan ekonomi Indonesia ditargetkan mencapai tujuh persen. Pada 2010, pertumbuhan ekonomi hanya mencapai enam persen. Pada 2011, pemerintah mematok pertumbuhan ekonomi hanya 6,4 persen. Pada...pada dan pada. Siapa kita?

"Mungkin kita masih ada yang belum menyadari bahwa kita adalah negara perekonomian 18 besar di dunia. Kita sudah menjadi salah satu raksasa ekonomi dunia," kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa. Sekali lagi, siapa kita?

"(Angka) pengangguran kita turun dari 9,1 persen menjadi 7,14 persen...Tingkat kemiskinan turun dari 16,6 persen menjadi 13,5 persen. Artinya, kita bisa entaskan masyarakat dari kemiskinan sebesar 1,5 juta penduduk," katanya sembari menjelaskan, terjadi penurunan angka kemiskinan dari sebelumnya sekitar 32 juta menjadi 31,02 juta penduduk.

Optimisme Hatta dihadapkan kepada pertanyaan kritis yang dilontarkan garis pemikiran utopia. Apa arti pada tahun kesekian dan kesekian, jika berhadapan dengan istilah-istilah kunci, antara lain "yang menyeluruh" (Totum), "Yang paling akhir" (Ultimum) dan "Yang paling sempurna" (ens perfectissimum). Optimisme oke-oke saja, tapi jangan lupa, pulanglah ke kampung halaman.

Di mana kampung halaman ketika merayakan utopia 2011? Secara berkelakar, terang benderang bukan di Bursa Efek Indonesia (BEI) karena di sana berhimpun sejumlah orang yang memercayai bahwa ayunan harga saham memenuhi harapan manusia akan dunia yang lebih sejahtera. Dogma di BEI, yang mulai bertunas sekarang, perlu berbuah di masa depan.

Dan Wakil Menteri Keuangan Anny Ratnawati mengatakan, kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tergolong yang terbaik di Asia Pasifik. "Kita menutup perdagangan dengan kinerja IHSG mencatat hasil terbaik di Asia Pasifik. Pemerintah memberikan apresiasi yang tinggi. Tidak hanya IHSG yang baik, tetapi indikator utama bursam, kapitalisasi dan transaksi besar," imbuhnya.

Pertanyaan bagi dua elite perekonomian itu, berdasarkan apa ditentukan bahwa masa depan lebih baik daripada masa sekarang? Bukankah harapan akan masa depan lebih baik mengandaikan bahwa masa kini memuat kebaikan pada tingkat tertentu?

Dan Lembaga Ilmu dan Pengetahuan Indonesia (LIPI) mencatat, tidak ada korelasi positif antara pertumbuhan ekonomi dan tingkat kesejahteraan masyarakat pada tahun 2010. Menurut peneliti senior LIPI, Wijaya Adi, kesimpulan ini diraih dari beberapa indikator, seperti jumlah pengangguran dan tren penduduk miskin sepanjang tahun 2010.

Menurutnya, pertumbuhan ekonomi tak berdampak apa-apa pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Ia mengacu pada angka pengangguran di Indonesia pada tahun 2010. Jumlah pengangguran terbuka memang menurun dari tahun 2009, yaitu dari angka 9.259 orang menjadi 8.592 orang.

Namun, jumlah pengangguran yang digolongkan sebagai setengah pengangguran atau pekerja dengan jam kerja rata-rata 2-5 jam saja per hari justru meningkat signifikan, yaitu dari 31.363 orang ke angka 32.803 orang.

"Artinya, tingkat pengangguran dan pertumbuhan ekonomi korelasinya enggak sejalan. Pertumbuhan ekonomi tidak terkait erat dengan kesejahteraan masyarakat," katanya pula.

Angka berbalas angka. Sejatinya, masa depan tidak serba baru. Masa depan mulai dari saat ini. Masa depan mustahil ada, tanpa masa lalu.

Dan, potensi bencana alam pada 2011, justru meningkat. Bencana hidrometereologi yang dipicu cuaca ekstrem pada 2011 berpotensi meningkat. Curah hujan Indonesia pada Januari hingga Maret 2011 diperkirakan melebihi normal.

Dan triwulan I-2011 diperkirakan menjadi masa potensi bencana alam tertinggi. Bukankah alam kerapkali tak bisa diperhitungkan daya destruktifnya?

Dan, dan...dan. Inilah tiga kata kunci ketika merayakan utopia 2011. Karena manusia itu sebuah teka-teki, maka masa depannya memuat teka-teki juga.

Lantas, masih mau beroptimisme ria? Absurd!
(A024/ART)

Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2011