Sanaa (ANTARA News) - Para pemimpin oposisi di Yaman hari Rabu berjanji melanjutkan protes anti-pemerintah pada Kamis -- yang disebut-sebut sebagai "hari kemarahan" -- meski Presiden Ali Abdullah Saleh telah berjanji tidak memperpanjang masa kekuasaannya, demikian AFP melaporkan.

"Demonstrasi Kamis akan tetap berlangsung sesuai dengan jadwal," kata Mohammed Kahtan, seorang anggota partai Islamis Al-Islah di dewan konsultatif Yaman.

Mohammed al-Sabri, seorang pemimpin di Forum Bersama, sebuah aliansi oposisi parlemen, menambahkan, "Kami akan mengkaji pidato presiden, meski pengumumannya itu disampaikan terlambat."

Namun, Sabri mengatakan, seruan Saleh "bagi penghentian demonstrasi tidak bisa diterima", dan ia juga memastikan bahwa oposisi akan tetap melaksanakan protes "hari kemarahan".

Saleh, yang menjadi kepala negara sejak 1978, Rabu mendesak penghentian protes yang menuntut pengunduran dirinya ketika ia mengumumkan akan membekukan perubahan konstitusi yang akan memungkinkannya menjadi presiden seumur hidup.

Sampai akhir pekan lalu, demonstrasi berlangsung hampir setiap hari di ibukota Yaman, Sanaa, untuk menuntut pengunduran diri Saleh.

Di Sanaa pusat, Rabu, puluhan orang bersenjata dari Kongres Rakyat Umum kubu Saleh terlihat membangun tenda-tenda di Lapangan Al-Tahreer dan membawa foto presiden.

Diilhami oleh pemberontakan yang menggulingkan Presiden Tunisia Zine El Abidine Ben Ali pada Januari dan protes anti-pemerintah di Mesir, demonstran Yaman juga menuntut pengunduran diri Saleh dalam beberapa hari terakhir ini.

Yaman hingga kini masih menghadapi kekerasan separatis di wilayah utara dan selatan.

Yaman Utara dan Yaman Selatan secara resmi bersatu membentuk Republik Yaman pada 1990 namun banyak pihak di wilayah selatan, yang menjadi tempat sebagian besar minyak Yaman, mengatakan bahwa orang utara menggunakan penyatuan itu untuk menguasai sumber-sumber alam dan mendiskriminasi mereka.

Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh mendesak rakyat Yaman tidak mendengarkan seruan-seruan pemisahan diri, yang katanya sama dengan pengkhianatan.

Negara-negara Barat, khususnya AS, semakin khawatir atas ancaman ekstrimisme di Yaman, termasuk kegiatan AQAP.

Para komandan militer AS telah mengusulkan anggaran 1,2 milyar dolar dalam lima tahun untuk pasukan keamanan Yaman, yang mencerminkan kekhawatiran yang meningkat atas keberadaan Al-Qaeda di kawasan tersebut, kata The Wall Street Journal bulan September.

Negara-negara Barat dan Arab Saudi, tetangga Yaman, khawatir negara itu akan gagal dan Al-Qaeda memanfaatkan kekacauan yang terjadi untuk memperkuat cengkeraman mereka di negara Arab miskin itu dan mengubahnya menjadi tempat peluncuran untuk serangan-serangan lebih lanjut.

Yaman menjadi sorotan dunia ketika sayap regional Al-Qaeda AQAP menyatakan mendalangi serangan bom gagal terhadap pesawat penumpang AS pada Hari Natal.

AQAP menyatakan pada akhir Desember 2009, mereka memberi tersangka warga Nigeria "alat yang secara teknis canggih" dan mengatakan kepada orang-orang AS bahwa serangan lebih lanjut akan dilakukan.

Para analis khawatir bahwa Yaman akan runtuh akibat pemberontakan Syiah di wilayah utara, gerakan separatis di wilayah selatan dan serangan-serangan Al-Qaeda. Negara miskin itu berbatasan dengan Arab Saudi, negara pengekspor minyak terbesar dunia.

Sanaa menyatakan, pasukan Yaman membunuh puluhan anggota Al-Qaeda dalam dua serangan pada Desember 2009.

Kedutaan Besar Inggris di Sanaa juga menjadi sasaran rencana serangan bunuh diri Al-Qaeda yang digagalkan aparat keamanan Yaman pada pertengahan Desember 2009.

Sebuah sel Al-Qaeda yang dihancurkan di Arhab, 35 kilometer sebelah utara ibukota Yaman tersebut, "bertujuan menyusup dan meledakkan sasaran-sasaran yang mencakup Kedutaan Besar Inggris, kepentingan asing dan bangunan pemerintah", menurut sebuah pernyataan yang dipasang di situs 26Sep.net surat kabar kementerian pertahanan.

Selain separatisme, Yaman juga dilanda penculikan warga asing dalam beberapa tahun ini. (M014/K004)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011