Palu (ANTARA News) - Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sulawesi Tengah menyatakan segera memberikan advokasi kasus perkosaan yang melibatkan dua anak usia sekolah dasar di Palu, baik terhadap korban maupun pelaku. "Kami akan mengumpulkan data-data terlebih dahulu, baru kemudian melakukan apa yang perlu diperbuat," kata Sofyan Farid Lembah SH, MHum, pimpinan institusi itu di Palu, Ahad. Seorang bocah yang masih duduk di bangku sekolah dasar (SD) terpaksa diamankan aparat Reskrim Polres Palu di Sulawesi Tengah, karena melakukan perbuatan mesum dengan seorang siswi kelas I SD. MN (13) yang masih duduk di bangku kelas IV SDN 1 Birobuli di Kecamatan Palu Selatan ini ditangkap warga setempat ketika sedang melampiaskan nafsu bejatnya terhadap korban Rn (8), siswi SD lainnya, di sebuah rumah kosong dekat sungai di Jln Anoa I. Saat warga memergoki pada Jumat pagi (23/1) sekitar pukul 10:00 Wita, pelaku MN dan korban sedang dalam keadaan setengah telanjang. Tapi, MN berhasil melarikan diri sebelum kemudian berhasil ditangkap di sebuah kamar kos milik temannya, dekat lokasi kejadian. Atas peristiwa itu, ibu korban dengan membawa korban Rn kemudian mendatangi Mapolres setempat guna melaporkan kasus asusila tersebut. Menurut Lembah yang mantan staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Tadulako ini, biasanya penyebab kasus perkosaan yang melibatkan anak di bawah umur tidak berdiri sendiri, namun banyak faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut perlu diinvestigasi, agar penyelesaian kasusnya menyentuh akar masalah. Misalnya, lanjut dia, negara perlu mengetahui mengapa si pelaku begitu nakal sampai berbuat nekad seperti itu, bagaimana hubungan orang tua dengan anak selama ini, hubungan pelaku dengan pihak sekolahnya, hingga kemungkinan adanya ruang di lingkungannya yang memudahkan pelaku menyaksikan gambar atau adegan yang tidak pantas dilihat anak dibawa umur. "Bisa jadi si pelaku selama ini kurang mendapatkan perhatian dari orang tua atau menjadi korban kekerasan dari orang tua sendiri, termasuk lingkungan sekitar," katanya. Ia mengakui kalau pelaku MN memang bersalah karena perbuatannya sudah melanggar norma kesusilaan, norma hukum, dan norma agama. Akan tetapi, dalam penyelesaian kasusnya tidak semata-mata hanya melalui proses hukum, namun memerlukan pendampingan seorang psikolog untuk memperbaiki kejiwaannya agar ke depan yang bersangkutan tidak lagi melakukan perbuatan yang merugikan orang lain. "Jadi penampingan dari psikolog itu tidak hanya diberikan kepada korban beserta keluarganya untuk memulihkan kondisi traumatik mereka, tapi juga kepada pelaku dan orangtuanya sendiri," kata dia.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009