Sungai akan terus berkurang karena masih maraknya pembangunan rumah penduduk yang di kawasan bantaran sungai
Banjarmasin (ANTARA News) - Daerah air sungai (DAS) Barito yang melintasi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan seakan menjadi tumpuan utama bagi kehidupan warga kedua provinsi itu terutama yang bermukim di pinggiran sungai.

Sejak pagi buta, sebagian besar warga sudah beraktivitas di sungai, mulai dari mandi, mencuci, gosok gigi, hingga buang hajat.

Aktivitas seperti itu memang sudah menjadi bagian dari hidup mereka yang mudah ditemui saat menyusuri Sungai Barito dan anak-anak sungai di sekitarnya menuju Pasar Terapung.

Anak-anak yang ceria mandi dan bermain di sungai, menjadi pemandangan unik bagi wisatawan. Bahkan satu keluarga mulai dari nenek hingga cucu, tak risih melakukan aktivitas di sungai.

Tidak ketinggalan ibu-ibu muda dan para galuh (gadis) yang berkulit putih mulus yang hanya mengenakan sarung menutup dada saat mandi, sering menjadi hiburan dan objek fotografi bagi wisatan yang menyusuri sungai.

Saat mentari menampakkan sinar, anak-anak akan berjejer di sepanjang sungai untuk menunggu angkutan perahu yang mengantarkan mereka ke sekolah masing-masing.

Sungai Barito tak sekadar sebagai wadah untuk mandi, mencuci atau bermain, namun bagi warga setempat, sungai ini juga menjadi sumber perekonomian, terutama kaum perempuan.

Saat warga perkotaan masih terlelap, warga pinggiran sungai Barito terutama perempuan sudah bertarung melawan dinginnya pagi untuk menjajakan dagangannya di Pasar Terapung, Muara Kuin Banjarmasin.

Dengan menggunakan topi caping lebar untuk melindungi kepala dan sebagian wajah dari sergapan dingin, mereka terlihat gigih dan cekatan mengayuh jukung (perahu kecil terbuat dari kayu) yang penuh barang dagangan ke Pasar Terapung.

Sementara kaum lelaki, bertugas menjajakan ikan juga menggunakan jukung di lokasi yang sama.

Bila perut keroncongan, maka tinggal memanggil penjaja kue atau warung soto terapung, maka semua menu siap disantap.

Ya...di sungai dengan lebar antara 650 meter hingga mencapai 1.000 meter dan panjang mencapai 900 km itu, masyarakat pinggiran sungai Barito memutar roda kehidupan.

Sungai Barito bagaikan surga yang menyiapkan seluruh keperluan yang diinginkan, bukana hanya oleh warga sekitar tetapi juga wisatawan lokal hingga mancanegara.

Deru perekonomian dan sejuknya udara sepanjang melintasi Sungai Barito menjadi spirit bagi setiap wisatawan yang berkunjung, baik yang hanya ingin melepas penat atau yang ingin menyaksikan eksotiknya "urat nadi kehidupan" suku Banjar.

Terancam
Arus urbanisasi, modernisasi dan pembangunan berkelanjutan banyak mengubah pola pikir dan pola kehidupan suku Banjar yang semula hanya bertumpu pada sungai mulai berpindah ke daratan.

Pembangunan jalan dan perumahan secara besar-besaran membuat anak-anak sungai Barito banyak yang mengalami penyempitan dan pendangkalan, bahkan sebagian juga telah mati.

Warga yang dulunya dengan leluasa menjajakan dagangan dari rumah dengan menggunakan jukung, kini hal tersebut sudah jarang ditemukan, karena sebagin besar anak sungai telah tertutup perumahan.

Bermunculannya pasar di daratan, juga membuat pedagang dan pembeli di pasar terapung terus berkurang, sehingga ikon wisata Kalsel tersebut terancam punah bila pemerintah tidak sigap untuk mengantisipasi.

Pengamat sungai dan tata kota Banjarmasin, Bachtiar Noor pada satu kesempatan mengatakan ratusan aliran sungai di Kota Banjarmasin saat ini telah menghilang, yang sebagai besar diakibatkan ulah manusia dan degradasi alam yang terjadi di ibu kota Kalimantan Selatan itu.

Berdasarkan data, sepertiga dari empat ratusan sungai telah hilang dan diperkirakan yang masih tersisa sekitar 108 sungai saja di Kota Banjarmasin.

Jumlah sungai yang hilang tersebut akan terus bertambah seiring dengan masih banyak atau maraknya penyempitan aliran sungai akibat dari banyaknya rumah penduduk yang berada di bantaran sungai.

"Sungai akan terus berkurang karena masih maraknya pembangunan rumah penduduk yang di kawasan bantaran sungai," ucap Bachtiar.

Bahkan, tindakan manusia yang sangat mengganggu dan merusak aliran sungai, hingga kini masih saja terjadi, dan tanpa ada tindakan tegas dari pemerintah setempat, katanya menandaskan.

Staf Ahli dan Peneliti Kota Banjarmasin itu mengatakan, Pemko Banjarmasin juga kurang memiliki strategi untuk merawat aset-aset kota yang sebenarnya memiliki daya jual tinggi.

Misalnya, rumah adat Banjar di Kuin kini banyak hilang, begitu juga dengan sungai yang sebenarnya bila dirawat akan mampu menjadi daya tarik luar biasa bagi turis dalam negeri maupun luar negeri, begitu juga dengan pasar terapung.

Menurut Bachtiar, dibanding sungai-sungai lain di dunia, sungai Banjarmasin memiliki khas yang cukup unik dan indah. Namun sayang, seluruh aset tersebut dibiarkan apa adanya, murni tanpa sentuhan apa-apa.

Dengan demikian, tidak sedikit wisatawan yang datang ke Kota Banjarmasin pada akhirnya bingung, apa yang mau dilihat.

Selain itu, yang cukup memprihatinkan adalah kegiatan pembangunan dilakukan Pemerintah Kota Banjarmasin, justru tidak mengindahkan kelestarian lingkungan. Sebagai contoh gencarnya kegiatan pembangunan proyek pemerintah, telah mematikan fungsi sungai.

Seperti proyek pembangunan rumah walikota, gedung KONI dan kantor kecamatan serta berbagai bangunan pemerintah berada di tengah sungai. Demikian juga proyek pembangunan siring (talud) Sungai Martapura di pusat kota dengan anggaran total Rp150 miliar justru menjadi ancaman kerusakan ekologi dan ekosistem sungai.

Pengamat tata ruang Kalimantan Selatan Khairiadi Asa mengatakan beberapa persoalan yang terjadi di Banjarmasin saat ini karena Pemko maupun DPRD Kota Banjarmasin terkesan tidak antisipatif.

Pemerintah, kata dia, menunggu masalah baru bertindak, sehingga tata ruang Kota Banjarmasin terlanjur semrawut, ratusan sungai dan anak sungai terlanjur hilang dan lainnya.

Selain itu, Pemko juga terkesan tidak memiliki komitmen, sehingga dalam setiap pergantian kepemimpinan rencana tata ruang Kota Banjarmasin selalu berubah tidak ada konsistensi.

Saat ini, pengusaha maupun investor dengan mudah mendirikan bangunan dan mall-mall, tanpa memerhatikan lingkungan maupun kelestarian alam sekeliling.

Degradasi
Pencemaran sungai juga menjadi persoalan yang kini sedang dihadapi oleh warga pinggiran Barito.

Menteri Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta mengatakan, kondisi lingkungan Kalimantan Selatan (Kalsel) masih sangat rendah. Terutama indeks kualitas air dan tutupan lahan bekas pertambangan.

Bahkan kata dia, posisi Kalsel nomor tiga paling buruk alias urutan ke26, dari 28 provinsi di Indonesia yang dinilai.

"Rendahnya nilai kualitas air akibat dari rusaknya Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Sub DAS, sebagai dampak pengusahaan hutan yang tidak kembali melakukan reboisasi," ujar

Kepala Bidang Pengelolaan DAS Barito Ramliadi mengatakan, kondisi yang saat ini dihadapi DAS Barito adalah adanya tekanan karena degradasi hutan, permukiman yang makin berkembang di wilayah sempadan sungai.

Kondisi tersebut, tambah dia, diperparah dengan lajunya kerusakan tutupan lahan yang setiap saat terus bertambah.

DAS Barito tambah dia, sampai saat ini kondisinya sudah cukup memprihatinkan. Untuk wilayah DAS Barito yang berada di Kalsel, tutupan hutannya pada 2009 hanya tersisa sebesar 4,15 persen , sedangkan tutupan lahan DAS Barito yang berada di wilayah Kalteng lebih baik yaitu sebesar 38,77 persen.

Lahan kritis di Kalimantan Selatan dari kawasan hutan seluas 3.691.409,5 hektare terdapat lahan dengan potensi kritis seluas 1.465.241,6 agak kritis 1.355.054 hektare, kritis 682.294,2 hektare dan sangat kritis 78,748.

Jumlah tersebut terjadi peningkatan dibanding sebelumnya lahan kritis dan sangat kritis adalah seluas 555.982.22 ha, atau kurang lebih sepertiga dari luas kawasan hutan yang ada adalah dalam kondisi kritis.

Kondisi tersebut membuat wilayak Kalsel sering terancam bencana, baik banjir pada musim penghujan kekeringan pada musim kemarau.

Dengan demikian perlu dilakukan langkah-langkah strategis untuk menyelamatkan DAS Barito dari kerusakan alam baik pertambangan maupun alih fungsi lahan dari kawasan hutan menjadi perkebunan dan lainnya.

Kepala Badan Penanganan Bencana Kalsel Zainal Ariffin mengatakan, kerusakan alam membuat intensitas bencana banjir di Kalsel meningkat dan meluas.

Banjir yang sebelumnya hanya menimpa beberapa kabupaten yang memiliki potensi pertambangan, kini terjadi hampir di seluruh wilayah Kalsel.

Waktu banjir pun juga jauh lebih lama dibanding sebelumnya. "Biasanya banjir hanya merendam selama 1-3 hari, namun kini bisa sampai berhari-hari," katanya.

Penanganan Terpadu
Kepala Badan Penanganan Lingkungan Hidup Kalsel Rakhmadi Kurdi mengatakan, sebagai DAS yang melintasi dua provinsi yaitu Kalteng (70.73 %) dan Kalsel (29,27%), pengelolaan DAS Barito melalui keterpaduan dan sinergi berbagai pihak baik Pemerintah maupun masyarakat merupakan hal yang sangat penting.

Selain itu, kata dia, kerjasama antara dua provinsi yaitu Kalsel dan Kalteng juga perlu dilakukan sehingga penanganan dan kebijakan pengembangan DAS Barito tidak terkesan sendiri-sendiri dan saling lempar tanggung jawab.

Dengan demikian, tambah dia, perlu segera dibentuk balai penanganan sungai yang mampu memadukan seluruh dinas dan instansi terkait dalam menangani DAS Barito mulai dari hulu hingga hilir.

"Tanpa adanya keterpaduan tersebut rasanya sulit untuk bisa menyelesaikan berbagai persoalan DAS Barito," katanya.

Apalagi, tambah dia, laju sedimentasi DAS Barito mencapai lima sampai delapan meter kubik per harinya. Pendangkalan yang terjadi ini termasuk melebihi batas normal.

Dalam hitungan tahun, pendangkalan yang terjadi mencapai 12-15 ribu meter kubik.

Sementara Ramliadi mengatakan, saat ini pihaknya sedang gencar untuk melakukan penanaman pohon di seluruh kawasan DAS Barito.

Pada 2011 ini, segera ditanam sekitar 12 juta bibit pohon yang tersebar di Kalsel dan sebagian daerah Kalimantan Tengah.

"Jumlah tersebut jauh dari memadai dibanding kondisi lahan kritis dan luasnya tutupan lahan yang rusak, sehingga perlu segera dilakukan program penanaman pohon berkelanjutan," katanya.

Bila tidak, kata dia, fungsi DAS Barito akan semakin berkurang baik untuk roda perekonomian, transportasi dan lainnya, sehingga bencana demi bencana tidak menutup kemungkinan akan terus menghantui warga Kalsel dan Kalteng.

DAS Barito yang sebelumnya bagaikan "surga" perlahan tapi pasti akan hilang bila tidak ditangani dengan benar.
(U004/Z002)

Pewarta: Ulul Maskuriah
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011