Kairo (ANTARA News) - Mantan Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie kembali mengajak pemuda Indonesia untuk meniru Singapura sebagai negara kecil tapi unggul.

"Saya memang selalu memberi contoh Singapura, meskipun kecil di peta dunia tapi memiliki kultur kemajuan luar biasa. Oleh karena itu tirulah dia," kata Habibie dalam ceramahnya di Gedung Konferensi Al Azhar, Kairo, yang dihadiri sekitar 1.500 mahasiswa Indonesia, Senin petang waktu Kairo (Senin malam WIB).

Mantan presiden ketiga Indonesia itu menjelaskan bahwa pujiannya kepada Singapura itu pernah disalahtafsirkan sehingga seolah-olah saya melecehkan Singapura.

"Saya sama sekali tidak pernah melecehkan Singapura, tapi pernyataan saya disalahtafsirkan," kata Habibie, merujuk pada istilah "little red dot" (titik merah kecil) di peta dunia, yang sempat menimbulkan "perang dingin" antara Singapura dan Jakarta, terutama di masa Presiden Habibie (1998-1999).

Dampak pernyataan Habibie itu pula membuat Singapura dinilai sangat terlambat menyampaikan selamat kepada Habibie saat dilantik sebagai Presiden pada 21 Mei 1998 menggantikan Soeharto yang mengundurkan diri akibat gelombang tuntutan reformasi.


Nasionalisme Bagian Masa Lalu

Selama lebih dua jam ceramahnya yang dipandu Duta Besar RI untuk Mesir Abdurrahman Muhammad Fachir, Habibie mengetenghkan beragam persoalan dan visinya mengenai masa depan Indonesia.

Habibie, yang menyebut dirinya "eyang" atau kakek di depan para mahasiswa itu, mengisahkan pernah ditanya seorang pemuda Indonesia tentang nasionalismenya.

Dijawabnya, "Bung, sekarang ini zamannya produktivitas bukan lagi mempersoalkan nasionalisme, itu bagian dari masa lalu di tahun 1928."

"Saya ini meskipun bersekolah dan pernah berkarir di Jerman, tapi darah daging saya tetap orang Indonesia, saya ke mana-mana, paspor saya tetap paspor Indonesia," katanya.

Menurut Habibie, Indonesia dapat disegani dunia internasional bila mampu bersaing dengan negara maju lewat keunggulan produktivitas dan bukan karena nasionalismenya.

Pendiri dan mantan Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) itu mengingatkan pemuda Indonesia agar berhati-hati terhadap gelombang globalisasi.

Dalam pandangan Habibie, globalisasi hanya menguntungkan negara maju yang berhasil memasarkan produk-produk mereka di pasar internasional, sehingga membuat negara Dunia Ketiga tetap miskin dan hanya sebagai konsumen, bukan produsen.

"Globalisasi itu tak ubahnya seperti VOC yang berganti baju," ujar Habibie, merujuk pada kompeni monopoli Belanda di masa penjajahan dahulu.

Ia mengemukakan bahwa bila Indonesia ingin maju, maka harus menguasai industri strategis, terutama menyangkut dirgantara dan maritim.

Oleh karena itu, Habibie merasa terpanggil untuk kembali membangun PT Dirgantara Indonesia dan PT PAL.

Habibie juga mengungkapkan keprihatinannya atas visi beberapa kalangan yang hanya sekedar mencari keuntungan sesaat, dan bukannya kemandirian.

"Visi dan misi utama industri strategis adalah kemandiran bangsa, jadi tidak sekadar mencari keuntungan sesaat seperti VOC," paparnya.

Habibie berkunjung ke Mesir atas undangan Badan PBB untuk Program Pembangunan (UNDP) untuk tampil sebagai pembicara kunci bersama dengan sejumlah tokoh reformasi dari berbagai negara termasuk mantan Ketua MPR, Amien Rais guna berbagi pengalaman mengenai transisi demokrasi.

Mantan Ketua ICMI yang berjasa membangun gedung pertemuan mahasiswa, Wisma Nusantara, di Kairo itu disambut hangat mahasiswa.

Sambutan hangat itu tampak dari berjubelnya mahasiswa yang memenuhi Al Azhar Conference Center (ACC).

ACC yang berkapasitas 1.200 tempat duduk itu tak mampu menampung mahasiswa, sehingga ratusan mahasiswa rela duduk bersila di lantai. (M043/K004)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011