Jakarta (ANTARA) - Representasi politik perempuan nyatanya tidak hanya bermakna pada hal-hal seputar angka dalam pemenuhan minimal kuota sebesar 30 persen di parlemen, tetapi berkenaan dengan hal-hal substantif, seperti kebijakan ramah gender.

Kesadaran tentang pentingnya representasi perempuan di ranah politik kembali menggema dalam beragam ruang diskusi publik beberapa waktu terakhir ini. Hal itu muncul tidak hanya karena penyelenggaraan pesta demokrasi yang semakin dekat, tetapi disebabkan permasalahan seputar kebijakan di Tanah Air yang dianggap belum sepenuhnya memuat keadilan ataupun kesetaraan gender.

Sebagaimana yang disampaikan Pakar Politik Universitas Indonesia Sri Budi Eko Wardani bahwa representasi atau kehadiran perempuan dalam dunia politik hingga saat ini belum cukup signifikan untuk menelurkan kebijakan ramah gender.

Pandangannya itu sesuai dengan laporan Komnas Perempuan terkait temuan kebijakan diskriminatif berbasis gender di Indonesia. Salah satunya kebijakan aturan berbusana perempuan yang mengadopsi interpretasi tunggal dari simbol agama mayoritas. Komnas Perempuan pertama kali melansir laporan itu pada tahun 2009. Hingga saat ini, ditemukan 62 kebijakan diskriminatif terkait aturan berbusana di beberapa daerah di Indonesia.

Baca juga: Peneliti nilai representasi perempuan dalam politik sudah baik

Menurut Direktur Pusat Gender dan Demokrasi Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Julia Suryakusuma, jumlah perempuan yang mencapai setengah populasi di Indonesia nyatanya belum mampu mendorong pemenuhan hak mereka untuk dilibatkan dalam dunia politik dan pengambilan keputusan.

Hal senada diungkapkan Ketua Umum Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) Dwi Septiawati Djapar. Bahkan, menurutnya, representasi politik perempuan merupakan suatu keniscayaan atau keharusan karena jumlah perempuan yang besar tidak mungkin untuk tidak dilibatkan dalam perumusan kebijakan ataupun keputusan politik.

Dwi mengatakan bahwa keharusan itu muncul karena kebijakan dan keputusan politik yang akhirnya memengaruhi kehidupan bangsa Indonesia secara keseluruhan tanpa memandang gender. Dengan demikian, dia menilai tidak mungkin untuk meniadakan keterlibatan perempuan dalam perumusan kebijakan dan keputusan politik ketika mereka akan menerima dampaknya.

Baca juga: Pengamat: representasi politik perempuan bukan sekadar jumlah

Dwi meyakini apabila kebijakan politik tidak dirumuskan dengan perspektif yang utuh, termasuk mengikutsertakan perspektif gender, maka kebijakan itu akan menimbulkan ketidakadilan, diskriminasi, bahkan menimbulkan ketimpangan dan kesenjangan dalam banyak hal.

Jaminan representasi politik perempuan

Apabila menyoroti berbagai regulasi yang ada saat ini, sesungguhnya representasi politik perempuan telah dijamin hukum. Beberapa aturan yang secara jelas mendorong keterwakilan perempuan di dunia politik adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum serta UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik terkait mandat partai politik untuk memenuhi kuota keterwakilan tersebut.

Sri memaparkan beberapa jaminan lain terhadap representasi politik perempuan. Pertama, representasi politik perempuan sudah menjadi bagian amanat konstitusi. Sebagaimana dimuat dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 disebutkan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya. Ada pula Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Sajian pasal-pasal tersebut sudah menggambarkan jelas kesetaraan hak setiap warga negara Indonesia untuk meraih kesempatan berpolitik tanpa memandang gender.

Baca juga: MPI: Anggota KPU-Bawaslu yang terpilih harus berperspektif gender

Kedua, Sri mengatakan representasi politik perempuan merupakan bagian dari amanat Pancasila. Representasi politik perempuan merupakan perwujudan sila keempat, yakni kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Melalui sila tersebut, menurut Sri, partisipasi dan keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan yang adil menjadi sebuah keharusan.

Kemudian yang ketiga, Dosen Ilmu Politik Univesitas Indonesia ini mengatakan representasi politik perempuan memiliki jaminan hukum yang diberikan secara global oleh PBB dalam Konvensi CEDAW atau ICEDAW (International Convention on Elimination of All Forms of Discrimination Against Women). Dalam konvensi itu, dilakukan penghapusan segala bentuk diskriminasi perempuan di dunia ini.

Meskipun representasi tersebut telah dijamin oleh berbagai aturan, pada saat ini bahwa persentase perempuan di legislatif melalui Pemilu 2019 hanya mencapai 21 persen atau sekitar 131 dari 576 kursi. Rendahnya persentase itu menunjukkan bahwa representasi politik perempuan masih menjadi pekerjaan rumah yang besar dan sepatutnya segera diselesaikan.

Faktor utama penghambat representasi politik perempuan

Terkait faktor penghambat terwujudnya representasi politik perempuan, menurut Dwi Septiani, salah satu faktor utamanya adalah komitmen partai politik untuk memenuhi kuota keterwakilan perempuan. Menurutnya, berdasarkan sistem politik Indonesia, perempuan bisa hadir di parlemen karena merupakan calon legislatif yang diajukan partai politik.

Namun sejauh ini, sebagaimana yang diungkapkan Sri Eko Budi Wardani bahwa partai politik belum menunjukkan kesungguhannya dalam mendorong anggota perempuan untuk maju sebagai calon legislatif.

Oleh karena itu, salah satu penyelesaian yang dapat ditempuh sebagai upaya untuk mewujudkan representasi politik perempuan menurut Dwi Septiani dengan menghadirkan regulasi yang mewajibkan partai politik membuka ruang bagi perempuan untuk maju sebagai calon legislatif.

Dengan demikian, representasi politik perempuan diharapkan mampu terwujud untuk melahirkan beragam kebijakan yang ramah gender dan tentu saja bermanfaat besar dalam penegakan keadilan di Tanah Air.

Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2022