UU HPP ini dari beberapa ketentuan mampu menghasilkan penerimaan sebesar Rp137,55 triliun atau 0,77 persen dari PDB, ini dari beberapa ketentuan saja.
Jakarta (ANTARA) - Pengamat Perpajakan Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai penerimaan negara dari penerapan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau UU HPP mencapai Rp137,55 triliun per tahun.

“UU HPP ini dari beberapa ketentuan mampu menghasilkan penerimaan sebesar Rp137,55 triliun atau 0,77 persen dari PDB, ini dari beberapa ketentuan saja,” kata Fajry saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Badan Anggaran DPR RI yang disiarkan secara daring, Rabu.

Fajry menyampaikan bahwa tidak semua cluster di UU HPP membawa dampak positif bagi penerimaan negara karena bergantung pada masa berlaku serta aturan turunan, seperti kenaikan tarif PPN yang tidak membutuhkan aturan turunan dan akan langsung terdampak pada penerimaan negara. Sedangkan pungutan pajak karbon membutuhkan aturan turunan dan teknis administrasi untuk dapat menghasilkan penerimaan negara.

“Dari beberapa ketentuan lain kami tidak bisa kuantifikasi potensinya karena tidak ada aturan turunan yang dikeluarkan pemerintah atau tidak ada data di tingkat mikro,” ujar Fajry.

Baca juga: Moody's pertahankan peringkat kredit RI Baa2 dengan outlook stabil

Lembaga lain, lanjutnya, seperti Bank Dunia memproyeksikan penerimaan dari UU HPP yang mulai berlaku pada tahun 2022 ini, setiap tahun akan menghasilkan penerimaan sebanyak 0,7-1,2 persen dari PDB.

Ia menjelaskan bahwa reformasi perpajakan tidak selalu soal meningkatkan penerimaan negara, pajak dapat berfungsi sebagai refulerend, seperti untuk mengurangi ketimpangan.

Menurutnya, UU HPP juga memberikan keadilan bagi Wajib Pajak, meningkatkan kepatuhan dan mengurangi ketimpangan.

“Konsekuensinya, tidak semua klausal dalam UU berdampak positif bagi penerimaan negara,” tuturnya.

Baca juga: BKF nilai dampak kenaikan tarif PPN terhadap inflasi di 2022 terbatas

Menurut CITA, beberapa cluster yang berdampak negatif bagi penerimaan negara adalah batas peredaran bruto dari cluster PPh dan besaran sanksi yang turun dari cluster KUP. Sedangkan perubahan tarif PPh Badan, ekstensifikasi BKC, NIK sebagai NPWP, mutual agreement procedure dan kuasa wajib pajak bersifat netral terhadap penerimaan negara dan sisanya berdampak positif.

Untuk kinerja penerimaan pajak, CITA menilai tahun 2021 sebagai sebuah prestasi karena setelah 12 tahun penerimaan pajak akhirnya sesuai target dan bahkan lebih baik dibandingkan 2008 yang saat itu disokong program Sunpol.

Pertumbuhan penerimaan tahun 2021 sekitar 19,16 persen dan inisiatif pemerintah untuk tetap memberikan insentif perpajakan patut mendapatkan apresiasi.

Untuk penerimaan pajak tahun 2022 diprediksi CITA akan menghadapi berbagai tantangan yakni ketidakpastian akan pandemi COVID-19 yang akan berdampak pada turunnya harga komoditas maupun kenaikan tingkat suku bunga.

Pewarta: Kuntum Khaira Riswan
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2022