terutama di Pulau Jawa dan Sumatera
Bogor (ANTARA) - Akademisi pada Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan, IPB University, Prof. Dr. Ir. Muhamad Buce Saleh, M.S menyebutkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), luas tutupan hutan di Pulau Jawa hingga 2020 hanya tinggal 17 persen atau turun dari 26 persen pada 1990.

"Luasan tutupan hutan Indonesia terus menurun, terutama di Pulau Jawa dan Sumatera," kata Buce saat menyampaikan ringkasan orasi ilmiah kepada media massa secara virtual, di Bogor, Kamis, menjelang pengukuhannya sebagai salah satu guru besar tetap pada fakultas masing-masing dalam sidang Dewan Guru Besar IPB University.

Selain Buce, dua profesor lainnya dalam kesempatan yang sama adalah Prof. Dr. Akhiruddin, S.Si, M.Si, dosen pada Departemen Fisika Fakultas MIPA, serta Prof. Dr. Ir. Rilus A Kinseng, M.A, dosen pada Departemen SKPM Fakultas Ekologi Manusia.

Buce menjelaskan, di Pulau Jawa tutupan hutan pada 1990 ada 26 persen dan pada 2020 turun menjadi 17 persen, sedangkan di Sumatera pada periode yang sama turun dari 45 persen menjadi 27 persen.

Buce pada kesempatan itu menyampaikan ringkasan orasi ilmiah berjudul "Peran Kunci Perencanaan Spasial Dalam Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Indonesia: Teori Pengambilan Keputusan Berbasis Spasial".

Baca juga: KLHK: Luas tutupan hutan Indonesia capai 95,6 juta hektare

Buce menjelaskan, bahwa hutan menjadi salah satu kunci pencapaian "Sustainable Development Goals" (SDGs), tapi dalam praktek pengelolaannya muncul banyak permasalahan, seiring dengan perkembangan penduduk dan tuntutan pembangunan, dampaknya luasan hutan terus berkurang.

Dalam penelitiannya, Prof Buce meneliti apakah dengan terus menurunnya tutupan hutan, maka sumber daya hutan (SDH) juga menurun dan bahkan bisa punah?

Menurut dia, menjawab hal itu, tidak cukup hanya menerapkan teknologi, tapi dibutuhkan pengetahuan dari beberapa bidang ilmu, seperti ilmu sosial, ekonomi, dan politik.

Buce menjelaskan, penerapan ilmu dan teknologi penginderaan jauh (remote sensing), sistem informasi geografis (SIG) dan teori pengambilan keputusan, akan sangat menunjang perencanaan spasial SDH.

Perkembangan penelitian dalam inventarisasi hutan berbasis penginderaan jauh, kata dia, telah mencapai banyak hal.

Baca juga: KLHK sebut kinerja pemanfaatan hutan tumbuh positif meski pandemi

Hal itu mulai dari dari perbaikan teknik klasifikasi, degradasi hutan dan deforestasi, pendugaan parameter tegakan, estimasi kandungan karbon dan biomassa hutan, pendugaan produktivitas hutan dan pertumbuhan hutan, serta kajian segmentasi berdasarkan obyek.

Nanoteknologi
Sementara itu, Prof. Dr. Akhiruddin, S.Si., M.Si, menyampaikan ringkasan orasi ilmiahnya berjudul "Eksplorasi Biomassa Melalui Pendekatan Nanoteknologi untuk Penyediaan Material dan Piranti Maju".

Menurut Akhiruddin, pemanfaatan nanoteknologi dapat mengolah biomassa dari tumbuhan dan hewan menjadi material dan produk fungsional yang sangat menjanjikan.

"Eksplorasi biomassa dapat menghasilkan material maju dengan karakteristik dan fungsi baru sehingga dapat diterapkan dalam berbagai teknologi termasuk teknologi tinggi," katanya.
 
Menurut dia, nanoteknologi adalah teknologi merekayasa dan mengontrol materi pada dimensi dari satu sampai 100 nanometer.

Baca juga: Wamenlu: Indonesia terdepan dalam kehutanan berkelanjutan

Pada rentang dimensi tersebut fenomena unik tercipta yang pada akhirnya menciptakan aplikasi teknologi baru. 

Komponen biomassa, kata dia, dapat dieksplorasi menjadi nanomaterial dengan pendekatan nanoteknologi.

Nanomaterial yang dihasilkan melalui pendekatan nanoteknologi telah diterapkan pada berbagai bidang meliputi bidang medis, bidang lingkungan, bidang pertahanan, dan bidang energi. 

Kemudian, Prof. Dr. Ir. Rilus A Kinseng, M.A, menyampaikan ringkasan orasi ilmiahnya bertajuk "Konflik dan Perubahan Sosial pada Komunitas Nelayan dan Pedesaan di Indonesia".

Rilus menyampaikan, konflik pada komunitas nelayan dan pedesaan di Indonesia dapat menelan korban harta benda dan bahkan nyawa manusia, perlu dikelola dengan baik agar tidak destruktif.

Baca juga: ProFauna temukan 9 jenis burung dilindungi di hutan lindung RPH Sekar

Menurut dia, konflik pada komunitas nelayan disebabkan oleh ketidakberesan sosial meliputi, sumber penghidupan, keadilan hukum, serta martabat.

"Konflik pada komunitas nelayan dan pedesaan terutama dipicu oleh ketidakberesan sumber penghidupan," katanya.

Pewarta: Riza Harahap
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2022