Dalam konteks ini, perlu perbaikan data dan layanan birokrasi bagi nelayan kecil
Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim menekankan perlunya ada data akurat yang dimiliki Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terkait nelayan kecil di berbagai daerah guna mengatasi persoalan kemiskinan di kawasan pesisir.

"(Data akurat nelayan kecil) agar supaya tidak setiap kebijakan baru dikeluarkan, nelayan harus mengurus surat serupa (untuk menandakan dirinya adalah nelayan kecil) yang sebetulnya tidak perlu dan membuang-buang uang secara cuma-cuma, padahal sangat berarti buat nelayan kecil dan keluarganya," kata Abdul Halim kepada Antara di Jakarta, Rabu.

Menurut Abdul Halim, pada saat ini memang ada kebijakan bahwa nelayan kecil bebas pungutan, tetapi layanan yang diberikan dinilai masih ala kadarnya.

Selain itu, ujar dia, ada pula nelayan yang dibebani pengurusan administrasi berbentuk surat keterangan yang mesti diurus dan diperlukan biaya ekstra untuk mengurus dokumen yang menerangkan bahwa mereka tergolong nelayan kecil.

"Dalam konteks ini, perlu perbaikan data dan layanan birokrasi bagi nelayan kecil," katanya.

Senada, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Moh Abdi Suhufan mengungkapkan bahwa pihaknya mendapatkan laporan dan pengaduan sejumlah nelayan kecil dari Maluku dan Maluku Utara yang diwajibkan membayar retribusi izin daerah ketika akan mengurus Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal Pengangkut (SIKPI).

"Terdapat ketentuan peraturan daerah Provinsi Maluku No 2/2017 tentang retribusi perizinan daerah yang retribusi mewajibkan biaya retribusi pengurusan SIUP, SIPI dan SIKPI untuk kapal ukuran di atas 5 GT (gross tonnage)," kata Abdi, seraya menambahkan, pihaknya juga mendapatkan laporan yang sama dari nelayan kecil yang berada di Maluku Utara.

Abdi mengemukakan bahwa akibat adanya ketentuan ini banyak kapal nelayan kecil yang tidak mendaftarkan kapalnya dan tidak melaporkan hasil tangkapan karena merasa terbebani dan tidak mau membayar retribusi perizinan.

"Hal ini tentunya akan berimplikasi pada data produksi penangkapan ikan yang tercatat oleh pemerintah," kata Abdi.

Implikasi lain yang timbul akibat kebijakan ini adalah kesulitan nelayan dalam mengakses BBM bersubsidi karena tidak memiliki SIUP dan SIPI.

KKP sendiri telah menyiapkan program Kampung Nelayan Maju dan Kampung Perikanan Budidaya pada tahun 2022 guna mengentaskan kemiskinan ekstrem di wilayah pesisir hanya di berbagai daerah.

"Di 2022 salah satu target kami melakukan pembenahan kampung-kampung nelayan di pesisir untuk jadi kampung nelayan maju," kata Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono usai mengikuti Rapat Penanganan Kemiskinan Esktrem di Wilayah Pesisir di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Selasa (21/12).

Trenggono menyatakan bahwa program Kampung Nelayan Maju akan menyasar 120 Kabupaten/Kota di mana 50 daerah di antaranya termasuk dalam kriteria miskin ekstrem. Kemudian ada 130 Kabupaten/Kota untuk pengembangan program Kampung Perikanan Budidaya, dengan 53 di antaranya adalah wilayah miskin ekstrem.

Seluruh wilayah tersebut tersebar di 25 Provinsi, meningkat jauh dari realisasi program penanggulangan kemiskinan ekstrem tahun 2021 yang menyasar tujuh provinsi. Di tahun 2021, anggaran untuk program penanggulangan kemiskinan ekstrem mencapai Rp174,06 miliar yang bersumber dari APBN, DAK dan BLU.

Menteri Kelautan dan Perikanan menerangkan, pengentasan kemiskinan ekstrem ini merupakan agenda nasional sehingga pelaksanaannya dilakukan bersama-sama kementerian/lembaga pemerintah lainnya. Untuk perbaikan infrastruktur pelabuhan perikanan dan permukiman nelayan misalnya, KKP menggandeng Kementerian PUPR.

Baca juga: KKP-Kemendagri perlu evaluasi perda terindikasi bebani nelayan kecil

Baca juga: Penangkapan ikan terukur berbasis kuota utamakan nelayan kecil

Baca juga: Kuota penangkapan ikan, KNTI: Lindungi wilayah tangkap nelayan kecil

 

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2022