Jakarta (ANTARA News) - Bank Indonesia menilai penurunan BI rate menjadi 6,5 persen pada 11 Oktober harus diikuti dengan berbagai langkah lanjutan sehingga bisa bermanfaat bagi sektor riil dan pertumbuhan perekonomian nasional.

Direktur Riset Moneter dan Kebijakan Ekonomi BI Perry Warjiyo dalam surat elektronik yang diterima di Jakarta, Kamis, mengatakan agar penurunan 25 bps BI Rate tersebut efektif untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi ke depan, perlu reposisi strategi dan kebijakan makroekonomi dalam mengantisipasi dampak penurunan kinerja ekonomi global.

"Kekuatan permintaan domestik harus dimaksimalkan sambil terus mengoptimalkan peluang internasional. Jadi, perlu stimulus kebijakan baik dari fiskal maupun moneter," katanya.

Langkah antisipasi BI dengan penurunan BI Rate, tentunya diharapkan juga diikuti Pemerintah dengan menempuh kebijakan serupa, baik dengan stimulus fiskal, peningkatan investasi maupun meningkatkan implementasi proyek infrastruktur, sehingga sumber pertumbuhan ekonomi dalam negeri dapat menjadi penopang perekonomian nasional ke depan.

Dikatakannya, penurunan BI Rate itu sendiri jelas akan mendorong pertumbuhan karena setelah BI Rate turun, diharapkan suku bunga perbankan turun, dan selanjutnya akan mendorong penyaluran kredit.

"Demikian pula penurunan BI Rate akan mendorong harga saham dan biaya bunga obligasi dan karenanya sumber pembiayaan bagi dunia usaha dari pasar modal. Perhitungan BI menunjukkan penurunan 50 bps BI Rate dapat mendongkrak pertumbuhan sekitar 0,20 persen," katanya.

Menurut Perry, agar lebih efektif penurunan BI Rate perlu diikuti dengan penurunan suku bunga kredit, termasuk penurunan spread antara suku bunga deposito dan kredit yang selama ini menjadi kendala di Indonesia.

"Dibanding negara kawasan, spread suku bunga Indonesia yang saat ini masih sekitar 6 persen adalah yang tertinggi. Ini salah satu ketidakefisienan perbankan kita, dan karenanya tidak mendukung daya saing di regional," katanya.

Menurut mantan direktur eksekutif South East Asia Voting Group (SEAVG) IMF itu, perlu upaya serius untuk meningkatkan peran perbankan bagi perekonomian nasional, sekaligus untuk mempersiapkan menghadapi era penyatuan ekonomi Asia ke depan, dan BI sudah menempuh langkah ke sana, yaitu dengan pengaturan Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK).

Dikatakannya, analisis terhadap laporan yang disampaikan perbankan juga telah dilakukan, bahkan BI juga telah memanggil perbankan untuk menjelaskan tingginya spread dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, apakah karena biaya overhead, premi risiko, atau sebab lain.

"Ke depan, BI perlu meminta komitmen perbankan terhadap langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk menurunkan spread tersebut, berikut dengan target yang akan dicapai. Dan komitmen itu ada baiknya masuk dalam Rencana Bisnis Bank (RBB)," katanya.

Selain itu, langkah lain yang penting adalah pendalaman pasar keuangan karena selama ini penghasilan perbankan sebagian besar dari bunga kredit akibat peran fee based income masih relatif kecil.

"Dengan pendalaman pasar keuangan, misalnya melalui transaksi perdagangan luar negeri, perdagangan obligasi dan sekuritas lain, penghasilan bank dapat ditingkatkan. Dan karenanya, spread suku bunga dapat diturunkan," katanya.

Menurutnya, upaya penurunan biaya overhead juga penting, yang terkait dengan biaya personel ataupun biaya gedung dan perkantoran, khususnya depresiasi dan pemeliharaan.

Selain itu, yang tidak kalah penting adalah penurunan premi risiko kredit yang bisa ditempuh dengan pengembangan infrastruktur perbankan seperti sistem informasi debitur dan asuransi kredit.

(T.D012/N002)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011