Sanaa (ANTARA News/AFP) - Jendral pembangkang Ali Mohsen al-Ahmar mengatakan, Minggu, pasukannya telah menggagalkan rencana rejim untuk meledakkan bom mobil di Sanaa pada hari pertama perayaan Idul Adha.

Dalam sebuah pernyataan, Ahmar mengatakan, mobil yang membawa dua tabung gas dan 100 kilogram TNT ditemukan Sabtu di dekat markas pasukannya, Divisi Lapis Baja Pertama, di ibu kota Yaman tersebut.

Bom itu akan diledakkan dari jarak jauh dengan ponsel, kata pernyataan itu.

Seorang tersangka yang ditahan mengaku diperintahkan oleh para pejabat "senior" rejim untuk meledakkan mobil itu pada Minggu pagi selama acara sholat Idul Adha yang dihadiri jendral tersebut, katanya.

Menurut pernyataan itu, mobil tersebut memiliki plat nomer Uni Emirat Arab, dan itu merupakan usaha keempat untuk membunuh Ahmar sejak ia membelot pada Maret untuk mendukung pemrotes yang menuntut pengunduran diri Presiden Ali Abdullah Saleh.

Ahmar menuduh Saleh dan rejimnya mendalangi "kejahatan penuh kebencian dan tidak bertanggung jawab semacam itu" dan ia bertekad tetap mendukung pemrotes, dengan risiko apa pun.

Pasukan jendral pembangkang itu menguasai daerah-daerah utara dan barat Sanaa, sementara pasukan Saleh menguasai wilayah-wilayah lain di ibu kota Yaman tersebut.

Saleh tetap bertahan di kursi kekuasaan meski protes yang menuntut pengunduran dirinya berlangsung sejak Januari dan tekanan internasional meningkat agar ia melepaskan kekuasaan.

Penentang Saleh telah mengumumkan pembentukan sebuah "komite hukum" yang akan mengumpulkan bukti dan saksi dari warga mengenai "kejahatan Saleh dan sisa-sisa rejimnya" untuk diajukan ke Pengadilan Kejahatan Internasional.

Demonstrasi di Yaman sejak akhir Januari yang menuntut pengunduran diri Saleh telah menewaskan ratusan orang.

Dengan jumlah kematian yang terus meningkat, Saleh, sekutu lama Washington dalam perang melawan Al-Qaida, kehilangan dukungan AS.

Pemerintah AS mengambil bagian dalam upaya-upaya untuk merundingkan pengunduran diri Saleh dan penyerahan kekuasaan sementara, menurut sebuah laporan di New York Times.

Para pejabat AS menganggap posisi Saleh tidak bisa lagi dipertahankan karena protes yang meluas dan ia harus meninggalkan kursi presiden, kata laporan itu.

Meski demikian, Washington memperingatkan bahwa jatuhnya Saleh selaku sekutu utama AS dalam perang melawan Al-Qaida akan menimbulkan "ancaman nyata" bagi AS.

Yaman adalah negara leluhur almarhum pemimpin Al-Qaida Osama bin Laden dan hingga kini masih menghadapi kekerasan separatis di wilayah utara dan selatan.

Yaman Utara dan Yaman Selatan secara resmi bersatu membentuk Republik Yaman pada 1990 namun banyak pihak di wilayah selatan, yang menjadi tempat sebagian besar minyak Yaman, mengatakan bahwa orang utara menggunakan penyatuan itu untuk menguasai sumber-sumber alam dan mendiskriminasi mereka.

Negara-negara Barat, khususnya AS, semakin khawatir atas ancaman ekstrimisme di Yaman, termasuk kegiatan Al-Qaida di Semenanjung Arab (AQAP).

Negara-negara Barat dan Arab Saudi, tetangga Yaman, khawatir negara itu akan gagal dan Al-Qaida memanfaatkan kekacauan yang terjadi untuk memperkuat cengkeraman mereka di negara Arab miskin itu dan mengubahnya menjadi tempat peluncuran untuk serangan-serangan lebih lanjut.

Yaman menjadi sorotan dunia ketika sayap regional Al-Qaida AQAP menyatakan mendalangi serangan bom gagal terhadap pesawat penumpang AS pada Hari Natal.

AQAP menyatakan pada akhir Desember 2009, mereka memberi tersangka warga Nigeria "alat yang secara teknis canggih" dan mengatakan kepada orang-orang AS bahwa serangan lebih lanjut akan dilakukan.

Para analis khawatir bahwa Yaman akan runtuh akibat pemberontakan Syiah di wilayah utara, gerakan separatis di wilayah selatan dan serangan-serangan Al-Qaida. Negara miskin itu berbatasan dengan Arab Saudi, negara pengekspor minyak terbesar dunia.

Selain separatisme, Yaman juga dilanda penculikan warga asing dalam beberapa tahun ini. (M014)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011