Jakarta (ANTARA) - Beberapa waktu lalu, Pemerintah menerbitkan peraturan klaim Jaminan Hari Tua (JHT) yang dapat dicairkan saat mencapai usia 56 tahun. Namun, belum sempat diimplementasikan, langsung mendapat penolakan pekerja.

Pemerintah merespons dengan rencana melakukan revisi kebijakan yaitu pencairan JHT kembali seperti semula, dapat dilakukan ketika pekerja sudah berhenti bekerja.

Padahal saat ini Pemerintah juga telah memberikan perlindungan Jaminan Kehilangan Pekerjaan bagi pekerja yang mengalami PHK.

Berdasarkan data BPJS Ketenagakerjaan 45 persen dari jumlah peserta yang klaim JHT berusia kurang dari 30 tahun, dengan saldo rata-rata Rp 7,7 juta dan pada umumnya memiliki masa kepesertaan yang singkat, kurang dari 5 tahun. Ketika pekerja tersebut bekerja kembali, maka kepesertaan JHT nya kembali akan reset dari awal, sehingga dana JHT tidak terpupuk optimal.

Mengacu pada amanat UU nomor 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, Program Jaminan Sosial yang memberikan perlindungan untuk hari tua, meliputi Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pensiun (JP).

Bagaimana dengan nasib hari tua pekerja, jika JHT dapat dicairkan kapan saja saat masih usia produktif? Cukupkah hari tua pekerja jika hanya bergantung pada program JP?

Program JHT merupakan tabungan wajib dengan iuran yang dibayar bersama-sama pekerja dan pemberi kerja. Manfaatnya diberikan sekaligus sejumlah akumulasi iuran dan hasil pengembangan. Jika peserta sudah tidak bekerja dan tidak klaim maka saldo JHT tetap diberi hasil pengembangan, meskipun peserta tidak membayar iuran lagi.

Baca juga: JHT bukan tabungan biasa

Baca juga: Menaker: Revisi aturan JHT dengarkan aspirasi dari pekerja


Waktu tunggu

Berbeda dengan JHT, Program JP merupakan manfaat pasti yang diberikan secara bulanan ketika memenuhi ketentuan paling sedikit membayar iuran selama 15 tahun dan telah memasuki usia pensiun sesuai ketentuan, meninggal dunia atau cacat total.

Besarnya manfaat bulanan 1persen dikali masa pembayaran iuran dalam tahun dikali dengan rata-rata upah tahunan tertimbang.

Rata-rata upah tahunan tertimbang merupakan rata-rata upah sepanjang karir dalam program JP disesuaikan dengan nilai inflasi. Usia pensiun JP ditentukan pertama kali di tahun 2015 adalah 56 tahun, meningkat 1 tahun setiap 3 tahunnya hingga mencapai usia 65 tahun.

Sementara usia pensiun real pekerja sangat beragam bergantung pada kebijakan perusahaan tempat bekerja.

Faktanya usia pensiun di perusahaan berbeda-beda, misalnya TK A berusia 30 tahun ikut JP di tahun 2015 dan pensiun usia 56 tahun di tahun 2041 maka manfaat JP bulanan baru akan diterima ketika TK memasuki usia 65 tahun sesuai dengan ketentuan usia JP.

Terjadi gap atau waktu tunggu selama 9 tahun untuk dapat menerima manfaat JP sejak berhenti di tempat kerja. Manfaat JHT di usia 56 ini seyogyanya menjadi bantalan sampai dengan jatuh tempo menerima JP bulanan.

Rekomendasi International Labour Organization (ILO) menyebutkan tingkat penghasilan pensiun (TPP) atau replacement rate seseorang dapat hidup layak setelah masa pensiun minimal sebesar 40 persen dari penghasilan terakhir setelah 30 tahun berkontribusi. Bagaimana dengan TPP di Indonesia?

Baca juga: Wamenkeu sebut perlu reformasi struktural sistem pensiun, ini sebabnya

Baca juga: Ahli sebut pengalihan Asabri ke BPJS-TK merugikan purnawirawan


Reformasi perlindungan

Berikut gambaran simulasi pekerja dengan upah Rp 5 juta, membayar iuran rutin selama 30 tahun, asumsi pertumbuhan upah 4 persen, tingkat pengembangan 5 persen, pertumbuhan GDP 3 persen dan inflasi 2 persen.

Jika pekerja pensiun di usia 56 tahun, maka perhitungan TPP JHT jika pembayaran dilakukan secara bulanan berkisar 15,54 persen, sementara JP bulanan baru bisa diberikan saat usia 65 tahun dengan TPP sebesar ± 27,57 persen. Total TPP dari JHT dan JP bisa mencapai 43,11 persen.

Keikutsertaan pekerja dalam program JHT dan JP, diharapkan dapat memenuhi TPP minimal ILO. Namun, pencairan JHT setiap saat di usia produktif, dan hanya mengandalkan JP untuk hari tua membuat TPP semakin rendah dan harapan hidup layak saat pensiun menjadi sulit terpenuhi.

Sebagian pekerja bahkan belum terdaftar sebagai peserta JP karena tidak wajib bagi pekerja skala usaha mikro/kecil.

Sebagai komparasi TPP di berbagai negara, dikutip dari buku Old Age Income Security in Asean Member States, disebutkan bahwa negara yang telah memiliki TPP di atas 40 persen antara lain Vietnam mencapai 60 persen dan Thailand 45 persen.

Disadari bahwa kondisi perekonomian dan ketenagakerjaan pasca pandemi COVID-19 belum pulih seutuhnya. Kebijakan JHT kembali ke filosofi usia 56 tahun, saat ini dipandang belum tepat oleh pekerja.

Namun, seyogyanya reformasi perlindungan hari tua dalam jangka menengah atau panjang perlu disiapkan untuk mengembalikan filosofi hari tua.

Memang tidak mudah, namun ketika Indonesia memasuki aging populasi di tahun 2045, Program JHT dan JP dapat menjadi solusi mencegah usia lanjut jatuh ke jurang kemiskinan.

Klaim JHT sebagai tabungan wajib hari tua berfungsi sebagai jembatan (bridging)  pemenuhan kebutuhan hidup di usia 56 sampai menerima manfaat JP sesuai usia JP.

Usia harapan hidup yang makin meningkat tentunya membutuhkan biaya yang cukup besar, untuk itu perlu kesiapan sedari dini agar tidak terlunta-lunta dan menjadi beban keluarga, sosial dan negara. Program JHT dan JP menjadi perlindungan berlapis bagi pekerja untuk memenuhi hidup layak di hari tua.

*) dr Woro Ariyandini MKM adalah
Asisten Deputi Pengkajian Aktuaria BPJS Ketenagakerjaan

Baca juga: BPJAMSOSTEK Sumbagut hingga Mei 2020 bayar klaim Rp108, 2 miliar

Baca juga: BPJS Ketenagakerjaan dorong perusahaan lapor sesuai upah

Copyright © ANTARA 2022