Jangan bilang-bilang kakiku sakit, nanti tidak boleh tanding. Boleh disiarkan tapi setelah aku tanding"
Palembang (ANTARA News) - Tubuhnya mungil, tingginya hanya 146 centimeter, beratnya tak lebih dari 37 kilogram, namun saat berlari ia melesat seperti angin. Itulah Triyaningsing, pelari jarak jauh Indonesia,

Ia baru saja menyabet tiga emas cabang atletik pada SEA Games 2011 di Jakabaring Palembang.

Tiga medali emas Triyaningsing diperolehnya dari nomor lari putri 5.000 meter, 10.000 meter, dan maraton (42,195 meter).

Pada nomor maraton catatan waktu Triyaningsih adalah dua jam 45 menit 35 detik, sedangkan medali perak putri diraih pelari Myanmar San Ni Lar dengan catatan waktu 2 jam 46 menit 37 detik, dan medali perunggu jatuh ke tangan Bham Thi Binh dari Vietnam dengan waktu 2 jam 48 menit 43 detik.

Sejak bergabung dengan pelatnas SEA Games 2011, Triyaningsih memang ingin mempersembahkan donasi emas yang banyak buat Merah Putih.

"Saya ingin bisa menyumbang tiga emas," kata anak ketiga dari pasangan Saderi (Alm) dan Ngatiyatni. Oleh karena itu, setelah memperoleh emas di nomor 5.000m dan 10.000m, Si Tri --begitu ibundanya menyapa-- tetap ngotot untuk merebut emas maraton.

Dan setelah melalui perjuangan yang melelahkan dan harus menaklukan cuaca kota Palembang nan panas, Triyaningsing mampu menggenapkan ambisinya, merebut tiga emas.

"Kemenangan ini saya dedikasikan untuk almarhum ayah saya," ujarnya. Ayah Triyaningsih, Saderi baru saja meninggal pada tanggal 11 Januari 2011 lalu.

Sebelum bertanding, kondisi Triyaningsih sebetulnya tak betul-betul prima. Triyaningsih mengaku kakinya melepuh, namun gadis mungil kelahiran Semarang, 15 Mei 1987 itu tetap nekat bertanding. Ia bahkan sempat merahasiakan sakitnya, karena jika ketahuan, Triyaningsih takut tak diperbolehkan bertanding.

"Jangan bilang-bilang kakiku sakit, nanti tidak boleh tanding. Boleh disiarkan tapi setelah aku tanding," kata Triyaningsing, yang meminta wawancaranya "diembargo" hingga nomor maraton usai di pertandingkan.

Akibat kenekatannya, seusai lomba, Triyaningsih langsung dibawa ambulans dengan kaki kanan terbalut perban. Bahkan saat pengalungan medali dilakukan, terpaksa ia diwakili rekannya sesama pelari nasional, Rini Budiarti.

Cedera yang dialami Triyaningsih juga membuat gadis berkulit hitam manis itu tidak bisa membuat capaian waktu yg lebih baik dari waktu sebelumnya.

"Cedera ini karena saya nggak disiplin. Ke depan saya yang penting saya mau mendisiplinkan diri dulu, nanti kalo sudah lebih disiplin prestasi yang lain pasti akan mengikuti," ujarnya mantap.

Sebelum bertanding Triyaningsing sangat yakin bisa meraih emas pada nomor maraton, meskipun pada SEA Games 2011 ia baru pertama kali turun di nomor ini. Triyaningsih sangat yakin dengan hasil yang bakal diraihnya, karena selama ini limit waktu yang dicapainya sangat stabil.

Pada perhelatan Greatest Race on Earth Nairobi akhir Oktober 2009 silam, ia menyabet posisi runner up dengan catatan waktu dua jam 43 menit 35 detik. Sedangkan di Asian Games 2010, catatan waktu nomor maraton Triyaningsih sudah bisa menembus dua jam 31 menit.

"Jadi saya cukup yakin lah bisa tambah emas satu lagi buat Indonesia," ujar adik mantan pelari maraton putri Indonesia, Ruwiyati.

Namun demikian catatan waktu Triyaningsih pada SEA Games 2011 itu, masih di bawah rekor SEA Games atas nama kakaknya Ruwiyati (2 jam 34 menit 29 detik) yang ditorehkan pada SEA Games 1995.

Sekretaris Umum PASI Tigor Tanjung sangat berharap di masa datang, Triyaningsih bisa tampil pada ajang Olimpiade, karena sesungguhnya ia mampu memenuhi limit waktu yang ditentukan untuk turut dalam perhelatan olahraga multievent paling akbar sejagad itu.

"Pada Asian Games 2010 lalu, ia bisa menembus 2 jam 31 menit. Catatan itu sesungguhnya sudah memenuhi limit Olimpiade, tapi karena itu belum masuk perhitungan, Triyaningsih harus memperoleh catatan terbaiknya di kesempatan lain. Saya yakin Triyaningsih bisa," katanya.

Catatan waktu terbaik Trianingsih untuk lari maraton adalah dua jam 31 menit. Catatan waktu itu dicapainya saat Asian Games di Guangzhou, China, Desember 2010.

Tak bisa jalan

Bakat lari Triyaningsing memang telah tampak sejak kecil. Menurut ibunda Triyaningsih, Ngatiyatni, Si Tri kecil tak pernah bisa jalan. "Selalu lari, dan kalau sudah lari tak tengok kanan kiri. Sama persis dengan ayahnya," katanya.

Namun, Ngatiyatni tak pernah bermimpi jika dua anak perempuannya bisa membela Indonesia di ajang SEA Games. Ia sangat bersyukur Ruwiyati dan Triyaningsih menjadi pelari sukses dan menjadi yang terbaik di Indonesia.

Ibunda Triyaningsih juga merasa "ayem" karena kedua anaknya saat ini telah diangkat menjadi pegawai negeri sipil di lingkungan Kementerian Pemuda dan Olahraga. "Jadi masa depannya insyaallah sudah terjamin," ujarnya berharap.

Saat Triyaningsih berlomba, Ngatiyatni juga terlihat diam dan memanjatkan doa. Doa itu demi menguatkan hati Triyaningsih untuk meraih kemenangan.

Dengan memperoleh tiga emas, Triyaningsih berhak atas bonus senialai Rp600 juta. Bonus itu dari pemerintah itu dijanjikan oleh Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Alfian Malarangeng di berbagai kesempatan.

Jika kelak mendapatkan bonus, Triyaningsih akan memberikan bonus itu untuk orangtuanya. "Bonus atas kemenangan emas ini untuk orangtua," katanya.

Ketua Umum PB Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PASI) Bob Hasan, menyatakan Triyaningsih masih akan menjadi tumpuan Indonesia di masa-masa mendatang. Pelari putri kelahiran Semarang itu dipercaya akan memiliki masa depan lebih baik, karena selain masih muda, ia juga berpotensi mengukir prestasi di level Asia, bahkan dunia.

"Level Trianingsih memang bukan hanya sekedar SEA Games, levelnya sudah Asia, bahkan menuju Olimpiade," kata Bob Hasan, sesaat setelah memeluk hangat "si kecil cabe rawit" itu.(*)

T010/F005/Z002

Oleh Teguh Priyanto
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2011