Jakarta (ANTARA) - Sejak masa lampau, manusia, hewan dan lingkungan menjalin kaitan yang tak terpisahkan dalam ekosistem kehidupan di planet bumi. Manusia bertahan hidup dengan bercocok tanam hingga memelihara hewan.

Sayangnya, manusia menempatkan kepentingan mereka di atas makhluk hidup lain dengan cara mengeksploitasi keberlangsungan hidup hewan maupun tanaman.

Hal ini menyebabkan ketidakseimbangan ekologi yang tak terhitung banyaknya, hingga muncul berbagai zoonosis (penyakit menular dari hewan ke manusia atau sebaliknya) yang justru mengancam kehidupan manusia.

Berdasarkan lini masa penyakit zoonosis yang dilansir dari laporan The Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat, terdapat sekumpulan penyakit zoonosis, di antaranya Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang disebabkan virus dari simpanse dan sooty mangabey (1920), Avian Infectious Bronchitis yang ditularkan dari ayam ke manusia (1931).

West Nile Virus yang berasal dari burung (1937), Zika Virus yang dibawa hewan primata (1947), Ebola dari kalelawar pemakan buah (1976), Porcine Epidemic Diarrhea dari unta (2012).

Daftar zoonosis nyatanya tak berhenti di situ. Selama 19 tahun, ASEAN dan China menghadapi beberapa wabah yang disebabkan oleh zoonosis, seperti Sindrom Pernafasan Akut Parah (SARS) dan flu burung (H5N1) pada 2003, serta SARS-CoV-2 pada 2019 hingga sekarang.

Yang terbaru adalah laporan peneliti dari Griffith University, Australia, menemukan varian Virus Hendra dari kelelawar pemakan buah yang bisa menular ke hewan dan manusia. Penyakit ini sebelumnya sempat muncul pada tahun 1994 dan 2016.

Terkait kasus kematian, HIV sejak kali pertama kali ditemukan sampai dengan saat ini telah menewaskan 36 juta jiwa dari seluruh penjuru dunia. Ebola yang mewabah sekitar 2013-2016 menyebabkan 11.325 kematian dari 28.600 orang yang terinfeksi.

Penyakit flu Spanyol dari virus H1N1 yang biasa menyerang burung memicu seperlima dari total sekitar 500 juta kasus dilaporkan meninggal dunia sepanjang kurun 1918 hingga 1920.

Belum lagi kematian akibat SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 menjadi penyebab 6,3 juta kematian di seluruh dunia dalam kurun 2019 hingga saat ini.

Studi CDC menyebutkan sekitar 60 persen penyakit di dunia diakibatkan oleh zoonosis. Sebanyak tiga dari empat penyakit menular baru (Infectious Emerging Disease/ IED) berasal dari hewan.


Penyebab

Dalam diskusi terakhir kalangan epidemiolog dunia, diperkirakan sekitar 10.000 virus dari hewan saat ini berpotensi menjadi wabah penyakit.

Epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman menyebut begitu banyak kasus wabah yang sebelumnya jarang terjadi, kini menjadi lebih sering muncul di tengah masyarakat, salah satunya adalah cacar monyet atau Monkeypox.

Situasi itu memberi pesan penting bahwa dunia makin rentan terserang zoonosis akibat perilaku manusia itu sendiri. "Kita sering tanpa disadari atau disadari, merusak lingkungan yang menyebabkan ekosistem ini menjadi semakin tidak berjalan seperti biasanya. Itu karena kehidupan manusia dan hewan batasnya semakin tipis dan rusaknya ekosistem," katanya.

Hasil penelitian kalangan epidemiolog menyebut fenomena zoonosis dipicu oleh punahnya sebagian hewan akibat kerusakan ekosistem, sehingga menyebabkan virus yang semula terkandung di inang hewan berpindah ke manusia mencari inang baru.

Dicky mengatakan bahwa perubahan iklim telah mempengaruhi harmonisasi hubungan manusia, hewan dan lingkungan. Keseimbangan tiga elemen itu sangat menentukan pelambatan atau percepatan kejadian wabah penyakit.

Untuk itu, manusia perlu secepatnya mengubah perilaku untuk menjaga kebersihan lingkungan serta menjaga kebiasaan hidup sehat untuk mengembalikan keseimbangan hubungan dengan hewan maupun lingkungan.

Kepada pemerintah, Dicky mendorong penguatan kebijakan pada aspek sistem deteksi, sistem surveilans, riset vaksin, riset obat-obatan, penguatan sumber daya manusia tenaga kesehatan hingga sistem ketahanan kesehatan.

Seluruh kebijakan itu diharapkan bisa melepas ketergantungan Indonesia pada hasil riset kesehatan luar negeri serta meningkatkan kemampuan mendeteksi ancaman wabah di masa depan. "Global health security lahir dari national health security dan dari local security," katanya.


One health

Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin dalam agenda pertemuan Menteri Kesehatan se-ASEAN di Bali pada 15 Mei 2022 menyebut zoonosis sebagai akar dari permasalahan pandemi di dunia.

Untuk itu diperlukan komitmen bersama seluruh negara dalam memerangi ancaman kematian manusia akibat virus pada hewan melalu pendekatan One Health untuk harmonisasi hubungan manusia, hewan dan lingkungan.

Budi selaku pimpinan Menteri se-Asean periode 2020-2022 menegaskan komitmen Indonesia untuk mempromosikan pendekatan One Health dalam kerja sama ASEAN dan China di bidang kesehatan.

Kerja sama ASEAN-China di bidang kesehatan telah dimulai sejak 2003. Tonggak dalam hubungan tersebut kemudian dilembagakan oleh China pada 2006 untuk memperkuat komitmen kerja sama kesehatan ASEAN-China.

Mengingat sejarah kerja sama kedua negara dan mengambil pelajaran dari wabah zoonosis sebelumnya, Budi percaya bahwa Indonesia-China sebagai bagian dari anggota G-20 bisa memperkuat kapasitas deteksi dan mitigasi.

Upaya intervensi yang disepakati, di antaranya memperkuat kapasitas dan kapabilitas hingga ke daerah dengan mengoptimalkan platform berbagi informasi yang ada di ASEAN, seperti Jaringan Pusat Operasi Darurat ASEAN, dikombinasikan dengan komitmen untuk berbagi data Whole Genome Sequencing (WGS) secara terbuka melalui platform GISAID.

"Optimalisasi harus melibatkan data besar, kecerdasan buatan dan internet untuk memungkinkan pengawasan global terintegrasi secara real time terhadap penyakit manusia, hewan dan tumbuhan," katanya.

Selain itu, Budi mendorong ASEAN-China untuk mengembangkan pusat dan jaringan penelitian regional.

Seperti yang telah dipelajari selama pandemi COVID-19, kata Budi, data genom global yang dipelajari oleh para peneliti telah memungkinkan penemuan dan pengembangan vaksin yang cepat serta menyelamatkan nyawa manusia.

Budi mengatakan pendekatan One Health juga perlu didukung kemampuan manufaktur farmasi lokal untuk tindakan pencegahan medis dengan memanfaatkan keahlian dan pengetahuan China. Hal penting lainnya adalah tindakan mengamankan pasokan vaksin, terapi dan alat diagnostik yang memadai.

Kesepakatan seluruh delegasi negara di regional ASEAN itu telah dilaporkan Budi kepada Majelis Kesehatan Dunia dalam forum World Health Assembly ke-75 (WHA75) di Jenewa pada 21-23 Mei 2022.

Untuk mewujudkan hal tersebut, negara di kawasan ASEAN berupaya menjalin koordinasi dan kemitraan strategis di level regional, internasional maupun aktor global lainnya seperti Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan G-20.

Program tersebut selaras dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2020-2024 dan menjadi isu penting dari Presidensi G-20 Indonesia 2022 yang ingin mencapai pemulihan global yang lebih kuat usai pandemi.

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2022