perang telah merusak keseimbangan pasokan pangan yang kemudian mengguncang stabilitas harga pangan sehingga sejumlah negara miskin semakin tak mampu membeli pangan

Semakin terisolir

Tahun lalu, Uni Eropa mengimpor minyak mentah Rusia (lewat pengiriman laut) senilai 51 miliar dolar AS dan minyak suling Rusia (lewat pipa) senilai 23 miliar dolar AS.

Tujuan embargo adalah memangkas kemampuan Rusia mengongkosi perang dan sekaligus merusak kemampuan ekonomi rezim Putin sehingga memicu destabilisasi di dalam negeri Rusia.

Sanksi ekonomi itu dibarengi dengan janji mengirimkan senjata berdaya jangkau jauh agar militer Ukraina bisa mengimbangi superioritas militer Rusia. Di sini, AS menyatakan segera memasok sistem peluru kendali presisi tinggi HIMARS (High Mobility Artillery Rocket System) ke Ukraina yang membuat Rusia semakin marah.

Negara-negara Eropa lain mengikuti AS, antara lai Jerman yang segera memasok howitzer berdaya tembak 56 km dan sistem anti pesawat terbang Gepard.

Mereka ingin Ukraina bisa menghancurkan militer Rusia di garis belakang sehingga tak lagi bisa meluncurkan roket dan artileri berat dari jarak jauh untuk menghancurkan kota-kota Ukraina.

Semua itu membuat perang di Ukraina semakin tak bisa diraba epilognya.

Putin yang diisukan tengah mengalami kanker akut diyakini tak akan berhenti sampai mendapatkan sesuatu yang dianggapnya kemenangan untuk menyelamatkan mukanya baik di mata publik domestik maupun luar negeri.

Korban jiwa di pihak Rusia sendiri terus bertambah dan saat bersamaan kemajuan militer Rusia pun tak terlalu signifikan. Dan situasi seperti ini bisa membuat suara yang menentang perang membesar.

Di lain pihak, Rusia semakin terisolasi dengan tak lebih dari lima negara, termasuk Belarus, yang mendukung invasi mereka Tetapi Belarus sendiri menolak aktif berperang di Ukraina, sekalipun menyediakan teritorinya sebagai tempat untuk melancarkan invasi ke Ukraina.

Dua tahun lalu di negeri itu, demonstrasi sipil pecah. Putin lalu menawarkan bantuan finansial dan polisi anti huru hara kepada Presiden Belarus Alexander Lukashenko untuk meredam protes massa ini.

Pada tahun yang sama, Putin mengerahkan pasukan perdamaian ke Nagorno-Karabakh ketika Armenia dan Azerbaijan berperang memperebutkan wilayah ini.

Kemudian, lima bulan lalu Putin mengerahkan pasukan reaksi cepat ke Kazakhstan untuk memastikan rezim di sana meredam gerakan massa yang seketika pecah.

Ironisnya, tak satu pun dari ketiga negara itu aktif mendukung perang Rusia melawan Ukraina.

Di lain pihak, perang yang semakin brutal membuat NATO didekati oleh negara-negara Eropa non anggota pakta pertahanan Atlantik Utara itu.

Baca juga: Bank Dunia harap konflik Rusia-Ukraina tak pengaruhi agenda iklim
Baca juga: Rubel melemah menuju 62 terhadap dolar, saham Rusia jatuh
Baca juga: Kremlin nilai pasokan senjata AS ke Ukraina "tuang minyak ke api"



(Selanjutnya: Ancaman krisis pangan)

Copyright © ANTARA 2022