perang telah merusak keseimbangan pasokan pangan yang kemudian mengguncang stabilitas harga pangan sehingga sejumlah negara miskin semakin tak mampu membeli pangan
Jakarta (ANTARA) - Jumat 3 Juni pekan lalu invasi Rusia di Ukraina genap 100 hari, tetapi perang belum juga menunjukkan tanda akan berakhir. Justru babak baru yang lebih brutal tengah terjadi di Donbas.

Donbas yang akronim "Donets Basin" atau Cekungan Donets, adalah kawasan budaya dan ekonomi di Ukraina Tenggara yang meliputi dua oblast atau provinsi; Donetsk dan Luhansk.

Pasukan Ukraina yang beroperasi di Donbas berasal dari kesatuan paling terlatih yang membuat pasukan Rusia maju mundur di Donbas. Pendulum perang pun mulai condong ke Rusia sejak Moskow memusatkan energi militernya ke bagian timur Ukraina setelah gagal menduduki Kiev dan menggulingkan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy.

Namun, jika Rusia berhasil menduduki seluruh Donbas, Presiden Rusia Vladimir Putin diyakini akan mencoba lagi menduduki Kiev dan menggulingkan Zelenskyy.

Solusi diplomatik sendiri semakin sulit, karena baik Putin maupun Zelenskyy tak mau mundur sejengkal pun dari sikapnya. Mereka berusaha menciptakan supremasi teritorial secara militer sehingga skala perang tak kunjung mengecil.

Ukraina memiliki alasan yang bisa dipahami semua negara berdaulat bahwa mereka akan bertempur sampai titik darah penghabisan karena perang ini menyangkut kemerdekaan, kedaulatan dan integritas teritorialnya.

Sementara Putin tak ingin ada pihak yang menyimpulkan Rusia kalah, karena jika ini yang terjadi, sama artinya dengan menciptakan situasi di mana semua tetangga Rusia dan rakyat Federasi Rusia beranggapan Putin tak kompeten sehingga tak perlu lagi digubris.

Alhasil, Rusia dann Ukraina pun all-out mengerahkan sumber dayanya, sembari saling mengukur daya tahan militer dan ekonomi masing-masing.

Dari perspektif ekonomi, Rusia tetap teguh sekalipun dihantam sanksi Barat yang amat keras, sampai harian terkemuka Inggris The Guardian menyimpulkan Rusia telah memenangkan perang ekonomi terkait invasi di Ukraina.

Tiga bulan sejak Rusia pertama kali dijatuhi sanksi begitu menginvasi Ukraina pada 24 Februari, ekonomi Rusia tak begitu terusik, sebaliknya tetap bisa mengongkosi perang di Ukraina.

Tingkat inflasi Rusia tetap terkendali, kendati ditempuh secara artifisial karena hampir sepenuhnya akibat intervensi negara, bukan hasil mekanisme pasar. Pun demikian dengan kurs mata uang, cadangan devisa, dan kemampuan membayar utang luar negeri dan menyelesaikan surat utang.

Sebaliknya sanksi ekonomi membuat harga komoditas ekspor utama Rusia seperti minyak dan gas membumbung tinggi yang membuatnya justru mengalami surplus transaksi berjalan yang pada empat bulan pertama 2022 mencapai 96 miliar dolar AS yang jauh di atas periode sama setahun sebelumnya.

Dihadapkan kepada kenyataan ini, Barat pun kian gencar melancarkan ofensif di dua matra; bantuan militer dan perluasan sanksi ekonomi. Dan mereka kini sepakat mengembargo minyak Rusia serta mengirimkan wahana perang tercanggihnya ke Ukraina.

Embargo minyak itu mencakup pengiriman minyak Rusia dari laut yang mencapai 2/3 ekspor minyak Rusia untuk Uni Eropa. Tapi itu tak termasuk pengiriman minyak lewat jaringan pipa yang melewati Polandia, Jerman, Hungaria, Slovakia dan Republik Ceko. Meski begitu, Polandia dan Jerman telah bersumpah untuk tak lagi menggunakan minyak Rusia.


Baca juga: Perkembangan terkini konflik Rusia-Ukraina
Baca juga: Yang perlu Anda ketahui tentang perang Ukraina-Rusia saat ini



(Selanjutnya: Membuat Rusia semakin terisolir)
 

Copyright © ANTARA 2022