terutama dari industri dan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara
Jakarta (ANTARA) - Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pemerhati lingkungan, Koalisi Ibu Kota menyebut polusi udara di Jakarta merupakan permasalahan lintas batas sehingga seharusnya bisa dikendalikan lebih cepat secara bersama-sama. 

"Sumber pencemar udara dari luar Jakarta, terutama dari industri dan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara," kata Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Fajri Fadhillah dalam jumpa pers daring di Jakarta, Selasa.

Dalam kondisi seperti itu, lanjut dia, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) harus menjalankan kewajibannya melakukan pengawasan dan supervisi terhadap Gubernur Banten, Jawa Barat dan DKI Jakarta.

Pengawasan dan supervisi itu untuk melakukan upaya pengetatan batas ambang emisi untuk seluruh sumber pencemar udara di daerahnya masing-masing.

Dia meminta baku mutu emisi baik untuk kendaraan bermotor maupun untuk industri seperti pembangkit-pembangkit listrik bertenaga fosil harus diperketat.

Baca juga: BMKG: Kondisi udara Jakarta Senin (20/6) dalam kategori tidak sehat

"Kedua sumber pencemar udara sama-sama perlu diperketat," imbuhnya.

Senada dengan Fajri, Juru kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu menilai salah satu penyebabnya memang cuaca, tetapi penyebab utama lainnya adalah masih ada sumber pencemar udara baik bergerak dan tidak bergerak.

Ia menilai sumber pencemar itu terbukti belum bisa dikendalikan serius melalui kebijakan yang seharusnya diambil oleh pemerintah.

"Satu hal yang sudah tidak bisa dibantah lagi, bahwa polusi udara di Jakarta masuk kategori tidak sehat dalam beberapa hari ini," ucap Bondan.

Sementara itu, Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Jeanny Sirait menilai adanya polusi udara di Jakarta bertolak belakang dengan fakta warga Ibu Kota masih belum bisa menikmati udara bersih setelah menang melalui gugatan di pengadilan pada September 2021.

Baca juga: Wagub DKI sebut penanganan polusi udara tak bisa hanya satu pihak

"Kemenangan warga belum mutlak tercapai karena proses banding dari pemerintah (pusat dan daerah) seolah tidak bersedia taat pada perintah pengadilan," katanya.

Koalisi Ibu Kota yang terdiri dari sejumlah LSM itu pun menganggap polusi udara yang tinggi di Jakarta beberapa hari terakhir seakan menjadi "kado" HUT ke-495 Jakarta

Sebelumnya, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat sejak 15 Juni 2022, konsentrasi PM2.5 mengalami peningkatan dan mencapai puncaknya pada level 148 mikrogram per meter kubik dengan kategori tidak sehat.

Kualitas udara di wilayah Jakarta dan sekitarnya yang memburuk disebabkan oleh kombinasi antara sumber emisi dari kontributor polusi udara dan faktor meteorologi yang menyebabkan terakumulasinya konsentrasi PM2.5.

PM2.5 merupakan salah satu polutan udara dalam wujud partikel dengan ukuran yang sangat kecil, yaitu tidak lebih dari 2,5 mikrometer.

Baca juga: Penanganan polusi udara diminta juga harus jadi prioritas DKI

Dengan ukurannya yang sangat kecil ini, PM2.5 dapat dengan mudah masuk ke dalam sistem pernapasan dan dapat menyebabkan gangguan infeksi saluran pernapasan dan gangguan pada paru-paru dalam jangka waktu yang panjang.

Selain itu, PM2.5 dapat menembus jaringan peredaran darah dan terbawa oleh darah ke seluruh tubuh yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan kardiovaskular seperti penyakit jantung koroner.

Pengamatan BMKG mencatat hingga Senin (20/6) konsentrasi PM2.5 masih berada di atas 100 mikro gram per meter kubik.

Pewarta: Dewa Ketut Sudiarta Wiguna
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2022