Jakarta (ANTARA) - Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavananda mengatakan digitalisasi dapat mengakselerasi Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), di samping berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi.

“Kalau digitalisasi tidak mau disalahgunakan oleh pelaku TPPU, regulasi tidak boleh abu-abu, lembaga pengawas harus jelas, penegakan hukum harus memadai. Kalau tidak digitalisasi hanya akan mendisrupsi perekonomian Indonesia,” kata Ivan dalam webinar “Menuju Masyarakat Cashless” yang dipantau di Jakarta, Rabu.

Ia menyebutkan saat ini pelaku TPPU mulai melakukan aksi dengan memanfaatkan produk keuangan berbasis digital seperti bitcoin sehingga sulit dideteksi, apalagi di Indonesia bitcoin dianggap sebagai aset yang baru diatur oleh Bappebti.

“PPATK perlu diutilisasi agar bisa mendeteksi TPPU yang memanfaatkan perkembangan digital dan agar perbankan juga bisa melakukan pelaporan kepada PPATK,” katanya.

Di samping itu, transaksi TPPU secara cash juga masih terus dilakukan sehingga PPATK pernah meminta agar transaksi keuangan cash bisa dibatasi, tetapi aturan ini belum dapat diimplementasikan.

“PPATK pernah berupaya mendorong agar RUU tersebut disahkan, dengan demikian apabila terdapat pembelian tanah, pembayaran cash cukup Rp25 juta, sisanya menggunakan sistem seperti perbankan,” katanya.

Adapun PPATK saat ini menerima tidak kurang dari 50 ribu laporan transaksi per jam dimana lebih dari 80 transaksi berupa transaksi tunai.

Pada 2020, PPATK menerima 1,37 juta laporan transaksi individu senilai Rp19,38 ribu triliun dan sekitar 4 juta laporan korporasi dengan nilai berkisar Rp13 ribu triliun.

Baca juga: Chatib Basri: Risiko investasi RI berkurang dengan jadi anggota FATF

Baca juga: PPATK: Februari 2023 penentuan RI bisa atau tidak jadi anggota FTAF


Pewarta: Sanya Dinda Susanti
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2022